Laman

Rabu, 15 Maret 2017

JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh :Siswadi, S.Ag., S.Pd., M.Pd.I [1]

Abstaksi
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam berbagai hal, termasuk dalam hal melakukan kegiatan ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya seorang diri, mengingat begitu banyak serta beragamnya kebutuhan itu sendiri. Keterbatasan manusia akan mendorong untuk berhubungan satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhannya, baik dengan bekerja sama, melakukan tukar-menukar barang maupun dengan cara melakukan jual beli dan lain sebagainya.
Kata Kunci : Jual Beli, Perspektif, Islam
 
A.      LATAR BELAKANG 
Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Jual Beli
Dalam kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini diterangkan lafaz Bai’ menurut Lughat artinya: memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu yang lain. Bai’ menurut syara’ jual beli artinya: membalas suatu harta benda seimbang dengan harta benda yang lain, yang keduanya boleh dikendalikan dengan ijab qabul menurut cara yang dihalalkan oleh syara’.[2]
Menurut kitab Fathul mu’in karangan Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz dijelaskan: menurut bahasanya, jual beli adalah menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’ ialah menukarkan harta dengan harta pada wajah tertentu.[3]
Dalam kitab Fiqih Muamalah karangan Dimyaudin Djuwaini diterangkan, secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Disini harta diartikan sebagai sesuatu yang memiliki manfaat serta ada kecenderungan manusia untuk menggunakannya. Dan cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul.[4]
Sedangkan dalam kitab Fiqih Sunnah buah karya Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihami diterangkan, jual beli menurut pengertian bahasanya adalah saling menukar. Dan kata al-Bai’ (jual) dan asy-Syiraa’ (beli) biasanya digunakan dalam pengertian yang sama. Dua kata ini mempunyai makna dua yang satu sama lain bertolak belakang. Menurut pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dibenarkan.[5]
Dan dari berbagai pengertian jual beli tersebut di atas, terdapat beberapa kesamaan pengertian jual beli, antara lain:
a.      Jual beli dilakukan oleh dua orang (dua pihak) yang saling melakukan kegiatan tukar-menukar.
b.      Tukar-menukar tersebut atas suatu harta (barang). Atau sesuatu yang dihukumi sebagai harta yang seimbang nilainya.
c.       Adanya perpindahan kepemilikan antara pihak yang melakukan transaksi tukar-menukar harta tersebut.
d.     Dilakukan dengan cara tertentu / wajah tertentu, yang dibenarkan oleh hukum syara’

2.      Hukum Jual Beli
Jual beli pada dasarnya merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama. Diantara dalil yang membolehkan praktik akad jual beli adalah sebagai berikut:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya : dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[6]
Ayat tersebut menjelaskan tentang dasar kehalalan (kebolehan) hukum jual beli dan keharaman (menolak) riba.  Allah SWT adalah dzat yang maha mengetahui atas hakikat persoalan kehidupan. Maka, jika dalam suatu perkara terdapat kemaslahatan, maka akan diperintahkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika menyebabkan kemudharatan, maka Allah SWT akan melarangnya. Dan dalam ayat lain yang artinya:
Artinya: bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari tuhanmu.[7]
Ayat di atas menunjukkan keabsahan menjalankan usaha guna mendapatkan anugerah Allah SWT. dan dalam konteks jual beli, ia merupakan akad antara dua pihak guna menjalankan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, karena pada dasarnya manusia saling membutuhkan. Dengan demikian legalitas operationalnya mendapatkan pengakuan dari syara’.
Para ulama juga sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia sering berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan tersebut tidak akan diberikan begitu saja tanpa adanya kompensasi yang harus diberikan. Maka, dengan di syariatkan-nya jual beli merupakan cara mewujudkan pemenuhan kebutuhan manusia tersebut. Karena pada dasarnya, manusia tidak akan bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain. Dan berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka jelas sekali bahwa pada dasarnya praktik/akad jual beli mendapatkan pengakuan syara’ dan sah untuk dilaksanakan dalam kehidupan manusia.[8]

3.      Rukun dan Syarat Jual Beli
Menurut Imam Nawawi dalam syarah al-Muhadzab rukun jual beli meliputi tiga hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud alaihi (barang yang diakadkan) dan shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul (penerimaan).[9]
a.      Akid adalah: pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang terdiri dari penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun orang lain yang menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikanya.[10]
b.      Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-sifatnya dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual beli barang yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya, maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’i telah mengatakan, tidak sah jual beli tersebut karena ada unsur penipuan. Para Imam tiga dan golongan ulama madzhab kita juga mengatakan hal yang serupa.[11]
عَنْ اَبِىْ هُرَ يْرَةَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ. (رواه مسلم و غيره)

Artinya: dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi telah melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya. (riwayat Muslim dan lainya).[12]
c.       Shighat (ijab dan qabul)
Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti “aku jual barang ini kepadamu dengan harga sekian. Dan qabul adalah ucapan dari pembeli, seperti “aku beli barang ini darimu dengan harga sekian”. Dimana, keduanya terdapat persesuaian maksud meskipun berbeda lafaz seperti penjual berkata “aku milikkan barang ini”, lalu pembeli berkata “aku beli” dan sebaliknya. Selain itu tidak terpisah lama antara ijab dan qabulnya, sebab terpisah lama tersebut membuat boleh keluarnya (batalnya) qabul tersebut.[13]



4.      Jual Beli Yang Dilarang (fasid/batil)
Jual beli batil adalah akad yang salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi dengan sempurna, seperti penjual yang bukan berkompeten, barang yang tidak bisa diserahterimakan dan sebagainya. Sedangkan jual beli yang fasid adalah akad yang secara syarat rukun terpenuhi, namun terdapat masalah atas sifat akad tersebut, seperti jual beli majhul yaitu jual beli atas barang yang spesifikasinya tidak jelas. Menurut mayoritas ulama, kedua akad ini dilarang serta tidak diakui adanya perpindahan kepemilikan.[14]

C.    KESIMPULAN
1.      Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara tertentu.
2.      Jual beli pada dasarnya merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama.
3.      Rukun jual beli meliputi tiga hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud alaihi (barang yang diakadkan) dan shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul (penerimaan)
4.      Jual beli batil adalah akad yang salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi dengan sempurna, seperti penjual yang bukan berkompeten, barang yang tidak bisa diserahterimakan dan sebagainya.






DAFTAR PUSTAKA


Abu Bakar, Taqiyyudin, bin Muhammad, Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtisar, alih bahasa Syarifudin Anwar dan Misbah Mustofa, Surabaya: CV Bina Iman, 1995.
As-Sa’di, Abdurrahman, dkk, Fiqh al-Bai’ wa as-Sira’, alih bahasa Abdullah, cet. I, Jakarta Selatan: Senayan Publising, 2008.
Bahreisj, Hussein, Hadits Shahih al-Jamius Sholih, Bukhori-Muslim, Surabaya: Karya Utama, 1997.
DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Pustaka Amani, 2005.
Djuwaini, Dimyaudin, Pengantar Fiqih Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Mujib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, cet. XLIX, Bandung: Sinar Baru Alglesindo, 2010.
Rifa’i, Mohammad, Ushul Fiqih untuk PGA, Muallimin, MMA dan persiapan IAIN, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah XII, alih bahasa Kamaludin A Marzuki, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987.
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, alih bahasa Aliy As’ad, Kudus: Menara Kudus, 1979.


[1]  Penulis adalah dosen tetap Program Studi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Qosim (STAIRA) Lamongan.
[2] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtisar, alih bahasa Syarifudin Anwar dan Misbah Mustofa, (Surabaya: CV Bina Iman, 1995), 534.
[3] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, alih bahasa Aliy As’ad (Kudus: Menara Kudus, 1979), 158.
[4] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, 2008), 69.
[5] Sayyid Sabiq,  Fiqih Sunnah XII, alih bahasa Kamaludin A Marzuki, (Bandung: PT Alma’arif, 1989), 45.
[6] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah) : 275.
[7] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah) : 198.
[8] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, 2008), 73.
[9] Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar, (CV Bina Iman, 1995), 535.
[10] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah,..., 56.
[11] Taqiyuddin abu Bakar, Kifayatul Akhyar,...., 537.
[12] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, cet. XLIX (Bandung: Sinar Baru Alglesindo, 2010),  280.
[13] Taqiyuddin abu Bakar, Kifayatul Akhyar, CV Bina Iman, 1995., 535.
[14] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah Pustaka Pelajar, 2008), 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar