Abstaksi
Manusia merupakan makhluk sosial
yang saling membutuhkan satu sama
lain dalam berbagai hal, termasuk dalam hal melakukan kegiatan ekonomi dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak mungkin bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya seorang diri, mengingat begitu banyak serta beragamnya kebutuhan
itu sendiri. Keterbatasan manusia akan mendorong untuk berhubungan satu sama
lain dalam pemenuhan kebutuhannya, baik dengan bekerja sama, melakukan
tukar-menukar barang maupun dengan cara melakukan jual beli dan lain
sebagainya.
Kata Kunci : Jual Beli, Perspektif, Islam
A.
LATAR BELAKANG
Dengan berinteraksi,
mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang
merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang
dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun
mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan
transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan
terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini
menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan
komprehensif.
Melihat paparan
di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang
patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi
jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah
bersentuhan dengan jual beli. Oleh
karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Jual Beli
Dalam
kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad
al-Husaini diterangkan lafaz Bai’ menurut Lughat
artinya: memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu yang lain. Bai’ menurut
syara’ jual beli artinya: membalas suatu harta benda seimbang dengan harta
benda yang lain, yang keduanya boleh dikendalikan dengan ijab qabul
menurut cara yang dihalalkan oleh syara’.[2]
Menurut kitab Fathul mu’in karangan Syekh
Zainuddin bin Abdul Aziz dijelaskan: menurut bahasanya, jual beli adalah
menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’ ialah
menukarkan harta dengan harta pada wajah tertentu.[3]
Dalam kitab Fiqih Muamalah karangan Dimyaudin
Djuwaini diterangkan, secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti
pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah,
jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara
tertentu. Disini harta diartikan sebagai sesuatu yang memiliki manfaat serta
ada kecenderungan manusia untuk menggunakannya. Dan cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau
ungkapan ijab dan qabul.[4]
Sedangkan
dalam kitab Fiqih Sunnah buah karya Sayyid
Sabiq Muhammad at-Tihami diterangkan, jual beli menurut pengertian bahasanya adalah saling menukar. Dan kata al-Bai’ (jual)
dan asy-Syiraa’ (beli) biasanya digunakan dalam pengertian yang
sama. Dua kata ini mempunyai makna dua yang satu sama lain bertolak belakang.
Menurut pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling
rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dibenarkan.[5]
Dan dari berbagai pengertian jual beli tersebut di atas,
terdapat beberapa kesamaan pengertian jual beli, antara lain:
a.
Jual
beli dilakukan oleh dua orang (dua pihak) yang saling melakukan kegiatan
tukar-menukar.
b.
Tukar-menukar
tersebut atas suatu harta (barang). Atau sesuatu yang dihukumi sebagai harta
yang seimbang nilainya.
c.
Adanya
perpindahan kepemilikan antara pihak yang melakukan transaksi tukar-menukar
harta tersebut.
d.
Dilakukan
dengan cara tertentu / wajah tertentu, yang dibenarkan oleh hukum syara’
2.
Hukum Jual Beli
Jual beli pada dasarnya merupakan akad yang
diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam
al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama. Diantara dalil yang membolehkan praktik akad
jual beli adalah sebagai berikut:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Ayat tersebut menjelaskan tentang dasar
kehalalan (kebolehan) hukum jual beli dan
keharaman (menolak) riba. Allah SWT
adalah dzat yang maha mengetahui atas hakikat persoalan kehidupan. Maka, jika
dalam suatu perkara terdapat kemaslahatan, maka akan diperintahkan untuk
dilaksanakan. Sebaliknya jika menyebabkan kemudharatan, maka Allah SWT akan
melarangnya. Dan dalam ayat lain yang artinya:
Artinya: bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari
tuhanmu.[7]
Ayat di atas menunjukkan keabsahan menjalankan usaha guna
mendapatkan anugerah Allah SWT. dan dalam konteks jual beli, ia merupakan akad
antara dua pihak guna menjalankan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup,
karena pada dasarnya manusia saling membutuhkan. Dengan demikian legalitas
operationalnya mendapatkan pengakuan dari syara’.
Para ulama juga sepakat (ijma’) atas kebolehan
akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia sering
berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan
kepemilikan tersebut tidak akan diberikan begitu saja tanpa adanya kompensasi
yang harus diberikan. Maka, dengan di syariatkan-nya jual beli merupakan cara
mewujudkan pemenuhan kebutuhan manusia tersebut. Karena pada dasarnya, manusia
tidak akan bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain. Dan berdasarkan
dalil-dalil tersebut, maka jelas sekali bahwa pada dasarnya praktik/akad jual
beli mendapatkan pengakuan syara’ dan sah untuk dilaksanakan dalam kehidupan
manusia.[8]
3.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Menurut Imam Nawawi dalam syarah al-Muhadzab rukun
jual beli meliputi tiga hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang
melakukan akad), ma’qud alaihi (barang yang diakadkan) dan
shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul (penerimaan).[9]
a.
Akid adalah: pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli,
yang terdiri dari penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun
orang lain yang menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia
memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikanya.[10]
b.
Ma’qud
‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan
sifat-sifatnya dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual
beli barang yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah
satu dari keduanya, maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’i telah mengatakan,
tidak sah jual beli tersebut karena ada unsur penipuan. Para Imam tiga dan
golongan ulama madzhab kita juga mengatakan hal yang serupa.[11]
عَنْ اَبِىْ هُرَ يْرَةَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ. (رواه مسلم و غيره)
Artinya: dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi telah
melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya. (riwayat Muslim
dan lainya).[12]
c.
Shighat
(ijab dan qabul)
Ijaab adalah perkataan dari
penjual, seperti “aku jual barang ini kepadamu dengan harga sekian”. Dan qabul adalah ucapan dari pembeli,
seperti “aku beli barang ini darimu dengan harga sekian”. Dimana, keduanya terdapat persesuaian maksud meskipun
berbeda lafaz seperti penjual berkata “aku milikkan barang ini”, lalu pembeli
berkata “aku beli” dan sebaliknya. Selain itu tidak terpisah lama antara ijab
dan qabulnya, sebab terpisah lama tersebut membuat boleh keluarnya
(batalnya) qabul tersebut.[13]
4.
Jual Beli Yang Dilarang (fasid/batil)
Jual beli batil adalah akad yang salah satu rukun
dan syaratnya tidak terpenuhi dengan sempurna, seperti penjual yang bukan
berkompeten, barang yang tidak bisa diserahterimakan dan sebagainya. Sedangkan
jual beli yang fasid adalah akad yang secara syarat rukun terpenuhi,
namun terdapat masalah atas sifat akad tersebut, seperti jual beli majhul yaitu
jual beli atas barang yang spesifikasinya tidak jelas. Menurut mayoritas ulama,
kedua akad ini dilarang serta tidak diakui adanya perpindahan kepemilikan.[14]
C.
KESIMPULAN
1. Jual
beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara tertentu.
2. Jual beli pada dasarnya merupakan
akad yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat
dalam al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama.
3. Rukun
jual beli meliputi tiga hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang
melakukan akad), ma’qud alaihi (barang yang diakadkan) dan
shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul (penerimaan)
4. Jual beli batil
adalah akad yang salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi dengan
sempurna, seperti penjual yang bukan berkompeten, barang yang tidak bisa
diserahterimakan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Taqiyyudin, bin Muhammad, Kifayatul Akhyar
Fii Halli Ghayatil Ikhtisar, alih bahasa Syarifudin Anwar dan Misbah
Mustofa, Surabaya: CV Bina Iman, 1995.
As-Sa’di, Abdurrahman, dkk, Fiqh al-Bai’ wa as-Sira’, alih
bahasa Abdullah, cet. I, Jakarta Selatan: Senayan Publising, 2008.
Bahreisj, Hussein, Hadits Shahih al-Jamius Sholih,
Bukhori-Muslim, Surabaya: Karya Utama, 1997.
DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta:
Pustaka Amani, 2005.
Djuwaini, Dimyaudin, Pengantar Fiqih Muamalah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Mujib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta:
Kalam Mulia, 2001.
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, cet. XLIX, Bandung:
Sinar Baru Alglesindo, 2010.
Rifa’i, Mohammad, Ushul Fiqih untuk PGA, Muallimin,
MMA dan persiapan IAIN, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah XII, alih bahasa
Kamaludin A Marzuki, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987.
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, alih
bahasa Aliy As’ad, Kudus: Menara Kudus, 1979.
[1] Penulis adalah dosen tetap Program
Studi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Qosim (STAIRA) Lamongan.
[2] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayatul Akhyar
Fii Halli Ghayatil Ikhtisar, alih bahasa Syarifudin Anwar dan Misbah
Mustofa, (Surabaya: CV Bina Iman, 1995), 534.
[3] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, alih
bahasa Aliy As’ad (Kudus: Menara Kudus, 1979), 158.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah XII, alih bahasa Kamaludin A Marzuki, (Bandung: PT Alma’arif, 1989), 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar