(Mengurai Istinbaht “Dasar-dasar” Hukum Imam Abu
Hanifah)
Oleh :
Oleh :
Abstraksi
Pada dasarnya, setiap
orang boleh menjadikan pahala dari amal perbuatannya untuk orang lain seperti
shalat, puasa, sadaqah, dan lain sebagainya (termasuk dalam hal ini membaca
al-Qur`an dan berzikir), menurut golongan ahlu as-Sunnah wal Jama’ah.[2]
Hal ini menunjukan bahwa dalam haji sekalipun, apabila digantikan oleh orang
lain maka pahala haji tetap menjadi milik orang yang digantikan. Pendapat ini
masyhur dikalangan mazhab Hanafi, dengan syarat bahwa ongkos yang dikeluarkan
untuk haji berasal dari harta peninggalan atau sebagian besar harta yang
digunakan milik orang yang memerintah.
Kata Kunci: Haji, Orang
Meninggal, Abu Hanifah
B.
Biografi
Imam Abu Hanifah
C.
Argumentasi
Imam Abu Hanifah.
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا
D.
Penutup
/ Kesimpulan
Haji adalah
rukun Islam ke lima yang merupakan perwujudan sikap pasrah dan tunduk seorang
hamba pada tuhannya. Haji secara bahasa artinya menuju tempat yang mulia. Dan
secara terminologi adalah menuju baitullāh (Ka`bah) untuk menunaikan
perbuatan yang diwajibkan, seperti tawaf di seputar Ka`bah dan wukuf di Arafah,
dalam keadaan ihram dengan niat haji.[3]
Haji
sendiri memiliki berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang,
sehingga ia termasuk yang diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Siapapun
yang tidak memenuhi salah satu persyaratan yang telah ditentukan, yaitu: Islam,
berakal sehat, dewasa, merdeka, dan mampu, maka tidaklah diwajibkan untuk
menunaikan haji. Kesepakatan ini telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana
yang dikatakan Ibn Qudamah dalam al-Mugnī, “Kami tidak menemukan adanya
perselisihan mengenai hal ini semua”.[4]
Mampu, yang
menjadi salah satu syarat diwajibkanya haji memiliki beberapa unsur yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari
dalam diri sendiri. Kesiapan dalam hal ini meliputi kesiapan fisik, kesiapan
mental, ongkos perjalanan, biaya hidup keluarga yang ditinggalkan, serta siap
dengan ilmu yang berkaitan dengan manasik haji.
2. Dari
luar diri. Dalam hal ini meliputi keamanan dalam perjalanan, kesiapan kendaraan
selama dalam perjalanan.[5]
Apabila
seseorang telah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan, maka diwajibkan
baginya untuk segera menunaikan haji. Berbedah jika ia sudah meninggal dunia,
maka menurut Imam Abu Hanifah, kewajiban haji gugur kalau dari segi kewajiban
fisik (badan)—tetapi kalau dia berwasiat agar mengeluarkan upah haji, maka ahli
warisnya harus mengeluarkan sepertiga dari upah haji, sebagaimana wasiat untuk
kebaikan-kebaikan yang lain, tetapi apabila tidak berwasiat, kewajiban itu
tidak wajib diganti.
B.
Biografi
Imam Abu Hanifah
Riwayat
Hidup
Nama kecil
Abu Hanifah adalah an-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthy al-Taiymi dilahirkan pada
tahun 80 H/699 M, di Kuffah—yaitu daerah yang terletak di negara Irak saat ini.
Beliau hidup pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul Malik. Imam Abu Hanifah
wafat pada tahun 150 H/767 M, di Baghdad pada usia 70-an.[6]
Abu Hanifah sebenarnya bukan keturunan asli orang Arab, melainkan keturunan
bangsa Persia, namun sebelum Abu Hanifah lahir, orang tuanya pindah ke Kuffah,
dan lahirlah beliau di Kuffah.[7]
Abu Hanifah
adalah fuqaha besar dan sekaligus merupakan seorang Mujtahid terkenal. Beliau
adalah pendiri mazhab Hanafi, yang sampai sekarang masih banyak diikuti oleh
kaum Muslimin di dunia. Beliau juga masih mempunyai pertalian hubungan keluarga
dengan Imam Ali bin Abi Talib ra.[8]
Menurut
satu riwayat, beliau dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena beliau
mempunyai seorang putra bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi
nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (bapak/ayah), sehingga
beliau dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.[9]
Tetapi
menurut Yusuf Musa, beliau disebut Abu Hanifah karena beliau selalu berteman
dengan tinta (dawat), dan kata Hanifah menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu
Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari guru-gurunya.[10]
Terlepas dari semua panggilan terhadap Abu Hanifah tersebut, maka beliau
dipanggil dengan Abu Hanifah karena sesuai dengan tingkah laku, perbuatan,
ucapan, amalan dan ketekunannya serta cita-cita luhur yang beliau miliki. Hal
ini menurut orang-orang yang mengetahui hal itu sewaktu hidupnya dan hampir
semua hidupnya digunakan untuk belajar dan mendalami agama Islam.
Kuffah
merupakan tempat dibesarkannya Abu Hanifah dan tempat kediaman kebanyakan para
fuqaha Islam. Sejak usia kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal
al-Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya, sehingga
ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya, sekaligus
menjadikan beliau lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut.
Selain memperdalam al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh, ilmu
hadits dari para sahabat Nabi Muahammad SAW.
Keluarga
Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri pernah terlibat
dalam perdagangan sutera di Kuffah dan Irak, di tempat ini pula beliau
menyampaikan pelajaran agama, meskipun mazhab fiqh Hanafi dikenal dalam
keluasan penafsiran, namun beliau cukup ketat berpegang pada paham
tradisionalis.[11]
Abu Hanifah
juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai
gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada
masa itu adalah Humad bin Abu Sulaiman kurang lebih 18 tahun lamanya sampai
gurunya wafat, kemudian beliau mulai mengajar di berbagai majlis ilmu di
Kuffah.
Semasa
hidupnya, beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud,
sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik
pada jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran menjadi
hakim agama (Qadhi) pada pemerintahan dinasti Umayyah yang ditawarkan oleh
al-Mansur, lalu beliau dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Pada
pemerintahan Abbasiyah banyak pengikutnya yang mengabdi kepada pemerintahan.
Abu Yusuf telah menulis naskah tentang zakat dan pajak merupakan murid Abu
Hanifah yang menjadi hakim agung yang pertama dalam sejarah Islam pada masa
pemerintahan Harun ar-Rasyid.[12]
Karya-Karya
Imam Abu Hanifah.
Keahlian
Imam Abu Hanifah terutama dalam masalah fiqh, tidak ada bandingannya di antara
sekian banyak ulama, tetapi tidak ada suatu kitab dalam masalah fiqh yang telah
diterbitkan atau ditulis oleh Abu Hanifah sendiri. Hal ini adalah wajar karena
di masa beliau belum berkembang usaha pembukuan. Murid-muridnya lah yang membukukan
pendapat-pendapat Abu Hanifah, mungkin sebagian yang dicatat itu adalah hasil
diktenya sendiri yang sampai sekarang masih ada.[13]
Para
sahabatnya yang amat erat hubungannya, telah membagi masalah fiqh kepada tiga
bagian.[14]
Yang pertama dinamakan Masa`ilul Ushul, kedua dinamakan dengan Masa`ilun
Nawazir, dan yang ketiga dinamakan al-Fatawa wal Waqiyat. Mengenai Masailul
Ushul ini kitabnya dinamakan Zahirur Riwayah, yang isinya tentang
masalah-masalah yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya
yang terkenal. Di dalam buku ini berisi masalah keagamaan, kupasan yang lengkap
kombinasi dari Imam Abu Hanifah dengan pendapat-pendapat para sahabatnya.[15]
Muhammad
bin Hasan asy-Syaibany (132-189 H/749-804 M) salah seorang murid beliau yang
telah berusaha membukukan mazhab Imam Abu Hanifah yang terkenal dengan al-Kutub
as-Sittah (enam kitab) yaitu:
1. Kitab al-Mabsut
2. Kitab az-Ziyadat
3. Kitab al-Jami’
as-Sagir
4. Kitab al-Jami’
al-Kabir
5. Kitab as-Sa`ir
as-Sagir
6. Kitab as-Sa`ir
al-Kabir[16]
Keenam
macam kitab itu telah dihimpun oleh Imam Abdul Fadl, Muhammad bin Ahmad
al-Marwazy pada abad ke-4, yang terkenal dengan nama al-Hakim asy-Syahid (344
H/955 M) dalam kitab yang dinamai al-Kafi. Kemudian al-Kafi ini
disyarahkan dalam kitab al-Mabsut oleh Syamsuddin Muhammad Ibn
Ahmad as-Sarakhasi yang wafat pada akhir abad ke-5 H.[17]
Dengan
karya-karya tersebut, Imam Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh besar dalam
dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya
tersebar di berbagai negara, seperti Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India,
Tunis, Turkistan, Syria, Mesir dan Libanon. Sekarang penganut mazhab ini tetap
termasuk golongan mayoritas di samping mazhab Syafi’i.
Karakter
Pemikiran Imam Abu Hanifah
Imam Abu
Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa
dinasti Abbasiyah. Peralihan kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah
yang naik tahta terjadi di Kuffah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke
Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja’far
al-Mansyur (754-775 M) sebagai ibu kota kerajaan tahun 762 M.[18]
Dari
perjalanan hidupnya itu, beliau sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di
Kuffah. Di satu sisi Kuffah memberi makna bagi kehidupannya sehingga beliau
menjadi salah satu ulama besar dan memangku gelar sebagai al-Imamul A’zam.[19]
Di sisi
lain Kuffah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik.
Daerah Basrah dan Kuffah banyak melahirkan ilmuwan dalam berbagai bidang;
seperti ilmu sastra, teologi, tafsir, fiqh, hadits dan tasawuf. Kedua kota ini
mewarnai intelektual Abu Hanifah di tengah berlangsungnya proses transformasi
sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional antara suku Arab Utara,
Arab Selatan dan Persia. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam
menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan
serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada.
Abu Hanifah
dikenal sebagai ulama Ahl ar-Ra`yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik
yang diistinbatkan dari al-Qur’an ataupun hadis, beliau banyak menggunakan
nalar dengan mengutamakan ra’yu dari khabar ahad. Apabila
terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas
dan istihsan.[20]
Adapun pola pemikiran hukum atau sistematika sumber hukum dan cara istinbat
yang dipegang oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari pernyataannya sendiri, beliau
berkata:[21]
Sesungguhnya
aku berpegang kepada Kitab Allah SWT kalau saya temui ketentuan hukumnya. Kalau
tidak saya temui di dalamnya, maka aku berpedoman pada sunnah Rasulullah SAW
dan atsar-atsar yang shahih dari beliau yang tersebar di tangan
orang-orang terpercaya. Kalau masih tidak saya temui dalam kitab Allah SWT dan
Sunnah Rasulullah SAW, maka aku berpedoman pada pendapat sahabat-sahabat
beliau, dan saya tinggalkan orang yang saya kehendaki, kemudian aku tidak
keluar dari pendapat mereka kepada pendapat lainnya.
Kalau
masalah tersebut terhenti kepada Ibrahim an-Nakhai’, asy-Sya’bi, al-Hasan, Ibn
Syirin dan Sa’id Ibn al-Musyayyab, maka saya pun ber-ijtihad sebagaimana mereka
telah ber-ijtihad.[22]
Kata-kata Abu Hanifah di atas berarti beliau tunduk kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah, dan beliau membuat perbandingan di antara pendapat sahabat-sahabat
Rasulullah dan memilih mana yang sesuai dengannya. Adapun pendapat dari para
tābi’in, beliau berpendapat harus setuju atau tidak baginya.[23]
Imam Sahal
bin Muzahim, seorang murid Imam Abu Hanifah pernah berkata :
Perkataan Imam Abu Hanifah
itu diambil dari orang yang kepercayaan, beliau suka menjauhkan diri dari
keburukan, suka adat istiadat mereka, juga suka memikirkan apa-apa yang telah
dianggap baik dan lurus oleh mereka dengan/dari segi qiyas. Maka apabila
sesuatu urusan dipandang kurang/tidak baik dari segi qiyas beliau menetapkannya
dari segi istihsan, selama yang demikian itu dapat dilakukan; maka apabila
dengan cara istihsan telah nyata tidak dapat dilakukan, barulah beliau
mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin.[24]
Keterangan beliau yang tertera itu dapat diambil suatu
kesimpulan, bahwa dasar pemikiran hukum Imam Abu Hanifah itu adalah:
a. Kitabullah
(al-Qur’an al-Karim).
b. Sunnah
Rasulullah SAW. dan asar-asar yang sahih serta telah masyhur (tersiar) di antara para ulama
yang ahli.
c. Fatwa-fatwa
dari para sahabat.
d. Ijma’.
e. Qiyas.
f. Istihsan.
g. Adat
yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam.
C.
Argumentasi
Imam Abu Hanifah.
Imam
Abu Hanifah, seperti yang dijelaskan dalam beberapa literatur mazhab Hanafiyah,
tidak membahas istatha’ah secara khusus seperti yang dilakukan oleh Imam
asy-Syafi’i yang kemudian membaginya menjadi 2 macam, tetapi lebih terfokus
pada masalah-masalah yang menjadi syarat wajib haji. Dan istatha’ah ini
dibahas bersama dengan syarat-syarat wajib haji lainnya, yang dalam pandangan
beliau terbagi menjadi dua macam. Pertama. Syarat wajib yang berlaku
umum baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Kedua. Syarat yang
berlaku khusus bagi perempuan.[25]
Syarat
wajib yang berlaku umum antara lain: Islam, balig, berakal, merdeka, memiliki
istatha’ah, sehat jasmani, dan aman dalam perjalanan. Anak kecil dan orang gila
tidak diwajibkan haji, dan bila bila tetap melaksanakan haji, dihukumi sunnat
bukan wajib. Karena itu, setelah dewasa ataupun setelah sembuh, ia diwajibkan
haji lagi sebagai haji wajib.[26]
Istatha’ah seperti yang diketahui, dimaksudkan
dengan adanya kesehatan jasmani, aman perjalanan, adanya bekal dan kendaraan
(alat transportasi). Kesehatan jasmani seseorang juga menjadi syarat wajib
haji, karena ibadah haji merupakan satu-satunya ibadah yang dilaksanakan dengan
badan dan harta, tidak seperti ibadah lainnya.Riwayat Ibn Abbas menjelaskan,
yang dimaksud as-Sabil pada firman Allah SWT.[27]
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا
Yaitu
dengan adanya kesehatan jasmani, adanya bekal dan kendaraan. Karena kewajiban
bertaqarrub kepada Allah dan beribadah kepada-Nya adalah untuk
mensyukuri nikmat-Nya. Bila tidak sehat dan tidak mempunyai harta bagaimana
bisa mensyukuri nikmat tersebut.[28]
Dengan
demikian, orang lanjut usia (tua renta), sakit, cacat, lumpuh, dan buta tidak
diwajibkan haji karena adanya uzur dan halangan yang merintangi perjalanan
meraka manuju baitullah, dan mereka termasuk kategori orang-orang yang
tidak memiliki istatha’ah. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah
SWT:[29]
وما جعل
عليكم فى الدين من حرج
Tetapi
dalam suatu riwayat lain dari Imam Abu Hanifah dijelaskan bahwa beliau
mewajibkan mereka berhaji sendiri, bila mendapatkan pembimbing atau pemandu
yang membantu perjalanannya.[30]
Bila tidak demikian, mereka dengan harta yang dimilikinya boleh menyewa orang
lain untuk menghajikan diri mereka. Menurut satu riwayat masyhur menjelaskan
bahwa menurut Imam Abu Hanifah orang buta meskipun memiliki bekal dan kendaraan
serta pembimbing tidak diwajibkan haji.[31]
Selain
syarat-syarat tersebut, Imam Abu Hanifah menambahkan satu syarat lagi yang juga
harus dipenuhi, yaitu keamanan dalam perjalanan. Karena, meskipun tidak
menyebutkan adanya keamanan, tetapi penafsiran istatha’ah dengan adanya
bekal dan kendaraan mengandung unsur lain yaitu keamanan, disamping karena
memiliki persamaan makna dengan sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk bisa
sampai ke Makkah.[32]
Sebagian
ulama ada yang mengatakan bahwa keamanan bukan menjadi syarat wajib haji,
tetapi sebagai syarat untuk melaksanakan haji ( ادإ الحج ) karena Nabi Muhammad SAW. tidak
menyebutkan adanya keamanan sebagai syarat wajib, kecuali dengan adanya bekal
dan kendaraan. Perbedaan ini muncul berkaitan dengan perlu tidaknya adanya
wasiat bila dikemudian hari terjadi kematian sebab lewatnya waktu (kehilangan
kesempatan). Menurut ulama yang berpendapat bahwa keamanan menjadi syarat wajib
haji, tidak mewajibkan adanya wasiat, karena ibadah haji tidak wajib baginya
dan juga tidak wajib diqada` orang lain. Sedangkan menurut ulama yang
berpendapat keamanan menjadi syarat melaksanakan haji, wajib berwasiat jika
dikuatirkan lewat waktu.[33]
Haji
merupakan ibadah yang mengharuskan seseorang untuk mamiliki kesiapan fisik
maupun harta. Apabila tidak mampu untuk menjalankannya, maka bisa digantikan
oleh orang lain. Begitu juga bagi seseorang yang meninggal dunia setelah
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan haji, maka boleh diwakilkan oleh ahli
warisnya maupun orang lain. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan
untuk menggantikan haji orang yang meninggal, tetapi hanya memperbolehkan saja.[34]
Kewajiban
haji bagi orang yang meninggal menjadi gugur kalau dari segi kewajiban fisik
(badan) karena ketidakmampuannya mengerjakan haji dengan badan,[35]
Tetapi apabila dia berwasiat agar mengeluarkan upah haji, maka ahli warisnya
harus mengeluarkan sepertiga dari harta warisan. Apabila seseorang berwasiat
dengan menentukan jumlah harta yang dikeluarkan untuk berhaji dan tempat
memulainya haji, maka ahli warisnya berkewajiban untuk melaksanakannya. Dan
apabila tidak menentukannya, maka wajib dihajikan dari tempat tinggal orang
yang meninggal dengan menggunakan sepertiga dari harta peninggalannya. Dan
apabila tidak mencukupinya (dengan menggunakan sepertiga harta warisan), maka dihajikan
dari tempat yang sekiranya cukup dengan harta tersebut. Dan apabila dengan
harta tersebut tidak mencukupi sama sekali, maka wasiat tersebut dianggap
batal.
Pada
dasarnya, setiap orang boleh menjadikan pahala dari amal perbuatannya untuk
orang lain seperti salat, puasa, sadaqah, dan lain sebagainya (termasuk dalam
hal ini membaca al-Qur`an dan berzikir), menurut golongan ahlu as-Sunnah wal
Jama’ah.[36]
Hal ini menunjukan bahwa dalam haji sekalipun, apabila digantikan oleh
orang lain maka pahala haji tetap menjadi milik orang yang digantikan.
Pendapat
di atas, masyhur dikalangan mazhab Hanafi, dengan syarat bahwa ongkos yang
dikeluarkan untuk haji berasal dari harta peninggalan atau sebagian besar harta
yang digunakan milik orang yang memerintah.[37]
Apabila ongkos yang digunakan untuk haji itu menggunakan harta orang yang
mewakili, maka hajinya akan menjadi milik orang yang menghajikan, dan juga
apabila sebagian besar harta yang digunakan untuk ongkos haji berasal dari
orang yang mewakili.
Bagi
orang yang mewakili, menurut Imam Abu Hanifah, tidak diharuskan untuk berhaji
lebih dahulu untuk bisa menghajikan orang lain. Imam Abu Hanifah berhujjah dengan menggunakan hadis
yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:[38]
Bahwa Nabi Muhammad SAW. memperbolehkan wanita khas’am untuk menghajikan
orang tuanya tanpa memberikan ketentuan lebih rinci apakah diharuskan lebih
dulu berhaji untuk dirinya sendiri atau tidak. Beliau menafsirkan hadis
tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW. mengisyaratkan untuk lebih mendahulukan haji
bagi dirinya sendiri, sehingga beliau berpendapat, sesungguhnya lebih dulu berhaji
untuk dirinya sendiri lebih utama sebelum menghajikan orang lain,[39]
hal ini dikarenakan untuk lebih menjauhkan dari perbedaan di kalangan ulama.
D.
Penutup
/ Kesimpulan
Imam
Abu Hanifah dan madzhab yang lain memandang istatha’ah secara umum
sebagai syarat wajib haji, sehingga apabila seseorang sudah diwajibkan
untuk melaksanakan ibadah haji dengan memiliki istatha’ah secara
sempurna. Apabila seseorang meninggal sebelum melaksanakan haji, maka menurut
Imam Abu Hanifah tidak diwajibkan untuk menghajikannya, tetapi hanya
memperbolehkan saja —karena kewajiban haji tersebut telah gugur, kecuali kalau
dia berwasiat, maka harus dilaksanakan dengan sepertiga dari harta warisannya.
Di sisi lain, Imam Abu Hanifah memaparkan bahwa haji bertujuan mengagungkan baitullah,
dan orang yang meninggal tidak bisa untuk pergi ke sana, maka kewajiban haji
baginya gugur.
BIBLIOGRAFI
Abdul Wahab al-Ansari, t.t, Mizanul Kubra, I
& II, Beirut: Dar al-Fikr.
Abu
Zahra, 1997, Abu Hanifah Hayatuhu wa ‘Asruhu wa ‘Ara`uhu wa Fiqhuhu, Beirut : Dar al-Fikr.
Ahmad
asy-Syirbasi, 1991, al-A`immat al-Arba’ah, alih bahasa: Sabil Huda dan
Ahmadi, Sejarah dan Biografi Imam Mazhab, cet. ke-1. Jakarta: Bumi Aksara.
Cyril Glesse, 1999, The Encyclopaedia Of Islam,
alih bahasa: Ghufron Mas’adi, cet. ke-2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Departement Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
1993., Surabaya: Surya Cipta Aksara.
Huzaemah Tahido
Yanggo, 1997, Pengantar Perbandingan Mazhab, cet. ke-1. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Ibn al-Himam, t.t, Syarah Fath al-Qadar, III, Beirut: Dar
al-Fikr.
Ibn
al-Humam, t.t, Syarah Fath al-Qadir,
II, Beirut: Dar al fikr.
Ibn Mas’ud
al-Kasani, 1402H/1982, Badai’ as-Sanai’, II, Beirut: Dar al-Fikr
Imam al-Bukhari, 1981, Sahih al-Bukhari, II,
Beirut: Dar al Fikr.
M. Bahri Ghazali
dan Djumadris, 1992, Perbandingan Mazhab, cet. ke-1, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya
Moenawar Cholil,
1994, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. ke-9, Jakarta: Bulan
Bintang
Muchtar Adam, 1997, Tafsir Ayat-Ayat Haji, Telaah
Intensif dari Pelbagai Mazhab, Bandung: Mizan
Muhammad Jawad
Mughiyah, 1996, Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah, alih bahasa:
Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, cet. ke-2, Jakarta: PT Lentera
Basritama.
Muslim Ibrahim,
1990, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta: Erlangga.
Mutawakil Ramli, 2002, Mari Memabrurkan Haji: Kajian
Dari Berbagai Mazhab, Bekasi: Gugus Press.
Sobhi
Mahmassani, 1976Falsafat at-Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa: Ahmad Sujono, Filsafat Hukum dalam Islam,
cet. ke-3, Bandung: PT al-Ma’arif.
Syamsuddin as-Sarkhasi, t.t.), Al-Mabsut, III,
Beirut: Dar al-Ma’rifat.
Tamar Djaya,
1991, Studi Perbandingan 4 Iman Mazhab, cet. 3, Solo: C.V. Ramadhani
T.M. Hasbi
ash-Shiddieqy, 1997, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, cet. ke-1,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
[1] Penulis adalah staf pengajar pada
Prodi Ekonomi Syari’ah dan Ahwal
al- Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Qosim (STAIRA) Lamongan.
[3]. Mutawakil Ramli, Mari
Memabrurkan Haji: Kajian Dari Berbagai Mazhab (Bekasi: Gugus Press, 2002),
hlm. 11.
[5]. Muchtar Adam, Tafsir
Ayat-Ayat Haji, Telaah Intensif dari Pelbagai Mazhab, (Bandung: Mizan,
1997), hlm. 44-45.
[6]. Abu
Zahra, Abu Hanifah Hayatuhu wa ‘Asruhu wa ‘Ara`uhu
wa Fiqhuhu (Beirut : Dar al-Fikr, 1997), hlm. 12.
Baca juga Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet.
ke-1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 95,
[7].
Ahmad asy-Syirbasi, al-A`immat al-Arba’ah, alih bahasa: Sabil Huda dan
Ahmadi, Sejarah dan Biografi Imam Mazhab, Cet. ke-1, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hlm. 14
[8]. Muhammad
Jawad Mughiyah, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah, alih bahasa: Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Cet.
ke-2, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), hlm. xxv-xxvi.
[9]. M
Bahri Ghazali dan Djumadris, Perbandingan Mazhab, Cet. ke-1, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 50, juga Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh
Muqaran (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 70.
[10]. Lihat
Moenawir Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Cet. ke-9,
(Jakarta: Bulan Bintang , 1994 ), hlm.20.
[11]. Cyril
Glesse, The Encyclopaedia Of Islam, alih bahasa: Ghufron Mas’adi, Cet.
ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 8.
[12]. Ibid.,
Selanjutnya lihat Sobhi Mahmassani, Falsafat at-Tasyri’ fi al-Islam,
alih bahasa: Ahmad Sujono, Filsafat
Hukum dalam Islam, Cet. ke-3, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1976), hlm. 54.
[13]. T.M.
Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. ke-1,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 457-458.
[16]. Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, hlm. 102. Lihat pula Sobhi
Mahmassani, Falsafat al-Tasyri’ fi al-Islam, Alih Bahasa: Ahmad Sudjono,
hlm. 56.
[17]. Murtadha
Muthahhari dan M. Baqir as-Sadr, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh
Perbandingan, hlm. 54-55.
[22]. Ungkapan
Abu Hanifah tersebut sebagai keterangan tentang tata cara beliau dalam berijtihad
atau menggunakan pikiran dengan cara yang luas karena beliau berpendapat bahwa
pendapat-pendapat atau kata-kata dari para pengikut-pengikut (tabi’in) tidak
pasti beliu menurutnya. Manakala tidak mendapat nas-nas apakah dari al-Qur’an
atau Hadis dan juga tidak mendapat dari sahabat-sahabat beliau berpendapat
bahwa harus menyingkronkannya.
[24]. Moenawar
Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. ke-7, (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1990), hlm. 78-79.
[26]. Ibid, hlm. 182.
[29]. Al-Hajj (22) : 78.
[33]. Ibid.
[34]. Abdul Wahab al-Ansari, Mizanul Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t), I, hlm. 125, dan II, hlm. 29.
[37]. Ibid., hlm. 147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar