Laman

Rabu, 15 Maret 2017

HUKUM HAJI BAGI ORANG MENINGGAL DUNIA

(Mengurai Istinbaht “Dasar-dasar” Hukum Imam Abu Hanifah)

Oleh :
Moh. Nashiruddin A. Ma'mun, S.H.I., M.Hum [1]


Abstraksi
Pada dasarnya, setiap orang boleh menjadikan pahala dari amal perbuatannya untuk orang lain seperti shalat, puasa, sadaqah, dan lain sebagainya (termasuk dalam hal ini membaca al-Qur`an dan berzikir), menurut golongan ahlu as-Sunnah wal Jama’ah.[2] Hal ini menunjukan bahwa dalam haji sekalipun, apabila digantikan oleh orang lain maka pahala haji tetap menjadi milik orang yang digantikan. Pendapat ini masyhur dikalangan mazhab Hanafi, dengan syarat bahwa ongkos yang dikeluarkan untuk haji berasal dari harta peninggalan atau sebagian besar harta yang digunakan milik orang yang memerintah.

Kata Kunci: Haji, Orang Meninggal, Abu Hanifah

 A.      Selayang Pandang
Haji adalah rukun Islam ke lima yang merupakan perwujudan sikap pasrah dan tunduk seorang hamba pada tuhannya. Haji secara bahasa artinya menuju tempat yang mulia. Dan secara terminologi adalah menuju baitullāh (Ka`bah) untuk menunaikan perbuatan yang diwajibkan, seperti tawaf di seputar Ka`bah dan wukuf di Arafah, dalam keadaan ihram dengan niat haji.[3]
Haji sendiri memiliki berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang, sehingga ia termasuk yang diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Siapapun yang tidak memenuhi salah satu persyaratan yang telah ditentukan, yaitu: Islam, berakal sehat, dewasa, merdeka, dan mampu, maka tidaklah diwajibkan untuk menunaikan haji. Kesepakatan ini telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana yang dikatakan Ibn Qudamah dalam al-Mugnī, “Kami tidak menemukan adanya perselisihan mengenai hal ini semua”.[4]
Mampu, yang menjadi salah satu syarat diwajibkanya haji memiliki beberapa unsur yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Dari dalam diri sendiri. Kesiapan dalam hal ini meliputi kesiapan fisik, kesiapan mental, ongkos perjalanan, biaya hidup keluarga yang ditinggalkan, serta siap dengan ilmu yang berkaitan dengan manasik haji.
2.    Dari luar diri. Dalam hal ini meliputi keamanan dalam perjalanan, kesiapan kendaraan selama dalam perjalanan.[5]
Apabila seseorang telah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan, maka diwajibkan baginya untuk segera menunaikan haji. Berbedah jika ia sudah meninggal dunia, maka menurut Imam Abu Hanifah, kewajiban haji gugur kalau dari segi kewajiban fisik (badan)—tetapi kalau dia berwasiat agar mengeluarkan upah haji, maka ahli warisnya harus mengeluarkan sepertiga dari upah haji, sebagaimana wasiat untuk kebaikan-kebaikan yang lain, tetapi apabila tidak berwasiat, kewajiban itu tidak wajib diganti.

B.       Biografi Imam Abu Hanifah


Riwayat Hidup
Nama kecil Abu Hanifah adalah an-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthy al-Taiymi dilahirkan pada tahun 80 H/699 M, di Kuffah—yaitu daerah yang terletak di negara Irak saat ini. Beliau hidup pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul Malik. Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, di Baghdad pada usia 70-an.[6] Abu Hanifah sebenarnya bukan keturunan asli orang Arab, melainkan keturunan bangsa Persia, namun sebelum Abu Hanifah lahir, orang tuanya pindah ke Kuffah, dan lahirlah beliau di Kuffah.[7]
Abu Hanifah adalah fuqaha besar dan sekaligus merupakan seorang Mujtahid terkenal. Beliau adalah pendiri mazhab Hanafi, yang sampai sekarang masih banyak diikuti oleh kaum Muslimin di dunia. Beliau juga masih mempunyai pertalian hubungan keluarga dengan Imam Ali bin Abi Talib ra.[8]
Menurut satu riwayat, beliau dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena beliau mempunyai seorang putra bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (bapak/ayah), sehingga beliau dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.[9]
Tetapi menurut Yusuf Musa, beliau disebut Abu Hanifah karena beliau selalu berteman dengan tinta (dawat), dan kata Hanifah menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari guru-gurunya.[10] Terlepas dari semua panggilan terhadap Abu Hanifah tersebut, maka beliau dipanggil dengan Abu Hanifah karena sesuai dengan tingkah laku, perbuatan, ucapan, amalan dan ketekunannya serta cita-cita luhur yang beliau miliki. Hal ini menurut orang-orang yang mengetahui hal itu sewaktu hidupnya dan hampir semua hidupnya digunakan untuk belajar dan mendalami agama Islam.
Kuffah merupakan tempat dibesarkannya Abu Hanifah dan tempat kediaman kebanyakan para fuqaha Islam. Sejak usia kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal al-Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya, sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya, sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Selain memperdalam al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh, ilmu hadits dari para sahabat Nabi Muahammad SAW.
Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri pernah terlibat dalam perdagangan sutera di Kuffah dan Irak, di tempat ini pula beliau menyampaikan pelajaran agama, meskipun mazhab fiqh Hanafi dikenal dalam keluasan penafsiran, namun beliau cukup ketat berpegang pada paham tradisionalis.[11]
Abu Hanifah juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu adalah Humad bin Abu Sulaiman kurang lebih 18 tahun lamanya sampai gurunya wafat, kemudian beliau mulai mengajar di berbagai majlis ilmu di Kuffah.
Semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik pada jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran menjadi hakim agama (Qadhi) pada pemerintahan dinasti Umayyah yang ditawarkan oleh al-Mansur, lalu beliau dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Pada pemerintahan Abbasiyah banyak pengikutnya yang mengabdi kepada pemerintahan. Abu Yusuf telah menulis naskah tentang zakat dan pajak merupakan murid Abu Hanifah yang menjadi hakim agung yang pertama dalam sejarah Islam pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid.[12]

Karya-Karya Imam Abu Hanifah.
Keahlian Imam Abu Hanifah terutama dalam masalah fiqh, tidak ada bandingannya di antara sekian banyak ulama, tetapi tidak ada suatu kitab dalam masalah fiqh yang telah diterbitkan atau ditulis oleh Abu Hanifah sendiri. Hal ini adalah wajar karena di masa beliau belum berkembang usaha pembukuan. Murid-muridnya lah yang membukukan pendapat-pendapat Abu Hanifah, mungkin sebagian yang dicatat itu adalah hasil diktenya sendiri yang sampai sekarang masih ada.[13]
Para sahabatnya yang amat erat hubungannya, telah membagi masalah fiqh kepada tiga bagian.[14] Yang pertama dinamakan Masa`ilul Ushul, kedua dinamakan dengan Masa`ilun Nawazir, dan yang ketiga dinamakan al-Fatawa wal Waqiyat. Mengenai Masailul Ushul ini kitabnya dinamakan Zahirur Riwayah, yang isinya tentang masalah-masalah yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya yang terkenal. Di dalam buku ini berisi masalah keagamaan, kupasan yang lengkap kombinasi dari Imam Abu Hanifah dengan pendapat-pendapat para sahabatnya.[15]
Muhammad bin Hasan asy-Syaibany (132-189 H/749-804 M) salah seorang murid beliau yang telah berusaha membukukan mazhab Imam Abu Hanifah yang terkenal dengan al-Kutub as-Sittah (enam kitab) yaitu:

1. Kitab al-Mabsut
2. Kitab az-Ziyadat
3. Kitab al-Jami’ as-Sagir
4. Kitab al-Jami’ al-Kabir
5. Kitab as-Sa`ir as-Sagir
6. Kitab as-Sa`ir al-Kabir[16]

Keenam macam kitab itu telah dihimpun oleh Imam Abdul Fadl, Muhammad bin Ahmad al-Marwazy pada abad ke-4, yang terkenal dengan nama al-Hakim asy-Syahid (344 H/955 M) dalam kitab yang dinamai al-Kafi. Kemudian al-Kafi ini disyarahkan dalam kitab al-Mabsut oleh Syamsuddin Muhammad Ibn Ahmad as-Sarakhasi yang wafat pada akhir abad ke-5 H.[17]
Dengan karya-karya tersebut, Imam Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya tersebar di berbagai negara, seperti Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syria, Mesir dan Libanon. Sekarang penganut mazhab ini tetap termasuk golongan mayoritas di samping mazhab Syafi’i.

Karakter Pemikiran Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyah. Peralihan kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta terjadi di Kuffah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansyur (754-775 M) sebagai ibu kota kerajaan tahun 762 M.[18]
Dari perjalanan hidupnya itu, beliau sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kuffah. Di satu sisi Kuffah memberi makna bagi kehidupannya sehingga beliau menjadi salah satu ulama besar dan memangku gelar sebagai al-Imamul A’zam.[19]
Di sisi lain Kuffah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Daerah Basrah dan Kuffah banyak melahirkan ilmuwan dalam berbagai bidang; seperti ilmu sastra, teologi, tafsir, fiqh, hadits dan tasawuf. Kedua kota ini mewarnai intelektual Abu Hanifah di tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persia. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada.
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl ar-Ra`yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbatkan dari al-Qur’an ataupun hadis, beliau banyak menggunakan nalar dengan mengutamakan ra’yu dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.[20] Adapun pola pemikiran hukum atau sistematika sumber hukum dan cara istinbat yang dipegang oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari pernyataannya sendiri, beliau berkata:[21]
Sesungguhnya aku berpegang kepada Kitab Allah SWT kalau saya temui ketentuan hukumnya. Kalau tidak saya temui di dalamnya, maka aku berpedoman pada sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang shahih dari beliau yang tersebar di tangan orang-orang terpercaya. Kalau masih tidak saya temui dalam kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW, maka aku berpedoman pada pendapat sahabat-sahabat beliau, dan saya tinggalkan orang yang saya kehendaki, kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat lainnya.
Kalau masalah tersebut terhenti kepada Ibrahim an-Nakhai’, asy-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Syirin dan Sa’id Ibn al-Musyayyab, maka saya pun ber-ijtihad sebagaimana mereka telah ber-ijtihad.[22] Kata-kata Abu Hanifah di atas berarti beliau tunduk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dan beliau membuat perbandingan di antara pendapat sahabat-sahabat Rasulullah dan memilih mana yang sesuai dengannya. Adapun pendapat dari para tābi’in, beliau berpendapat harus setuju atau tidak baginya.[23]
Imam Sahal bin Muzahim, seorang murid Imam Abu Hanifah pernah berkata :

Perkataan Imam Abu Hanifah itu diambil dari orang yang kepercayaan, beliau suka menjauhkan diri dari keburukan, suka adat istiadat mereka, juga suka memikirkan apa-apa yang telah dianggap baik dan lurus oleh mereka dengan/dari segi qiyas. Maka apabila sesuatu urusan dipandang kurang/tidak baik dari segi qiyas beliau menetapkannya dari segi istihsan, selama yang demikian itu dapat dilakukan; maka apabila dengan cara istihsan telah nyata tidak dapat dilakukan, barulah beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin.[24]

Keterangan beliau yang tertera itu dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa dasar pemikiran hukum Imam Abu Hanifah itu adalah:
a.    Kitabullah (al-Qur’an al-Karim).
b.   Sunnah Rasulullah SAW. dan asar-asar yang sahih serta telah     masyhur (tersiar) di antara para ulama yang ahli.
c.    Fatwa-fatwa dari para sahabat.
d.   Ijma’.
e.    Qiyas.
f.   Istihsan.
g.   Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam.

C.       Argumentasi Imam Abu Hanifah.


Imam Abu Hanifah, seperti yang dijelaskan dalam beberapa literatur mazhab Hanafiyah, tidak membahas istatha’ah secara khusus seperti yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi’i yang kemudian membaginya menjadi 2 macam, tetapi lebih terfokus pada masalah-masalah yang menjadi syarat wajib haji. Dan istatha’ah ini dibahas bersama dengan syarat-syarat wajib haji lainnya, yang dalam pandangan beliau terbagi menjadi dua macam. Pertama. Syarat wajib yang berlaku umum baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Kedua. Syarat yang berlaku khusus bagi perempuan.[25]
Syarat wajib yang berlaku umum antara lain: Islam, balig, berakal, merdeka, memiliki istatha’ah, sehat jasmani, dan aman dalam perjalanan. Anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan haji, dan bila bila tetap melaksanakan haji, dihukumi sunnat bukan wajib. Karena itu, setelah dewasa ataupun setelah sembuh, ia diwajibkan haji lagi sebagai haji wajib.[26]
Istatha’ah seperti yang diketahui, dimaksudkan dengan adanya kesehatan jasmani, aman perjalanan, adanya bekal dan kendaraan (alat transportasi). Kesehatan jasmani seseorang juga menjadi syarat wajib haji, karena ibadah haji merupakan satu-satunya ibadah yang dilaksanakan dengan badan dan harta, tidak seperti ibadah lainnya.Riwayat Ibn Abbas menjelaskan, yang dimaksud as-Sabil pada firman Allah SWT.[27]

ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا


Yaitu dengan adanya kesehatan jasmani, adanya bekal dan kendaraan. Karena kewajiban bertaqarrub kepada Allah dan beribadah kepada-Nya adalah untuk mensyukuri nikmat-Nya. Bila tidak sehat dan tidak mempunyai harta bagaimana bisa mensyukuri nikmat tersebut.[28]
Dengan demikian, orang lanjut usia (tua renta), sakit, cacat, lumpuh, dan buta tidak diwajibkan haji karena adanya uzur dan halangan yang merintangi perjalanan meraka manuju baitullah, dan mereka termasuk kategori orang-orang yang tidak memiliki istatha’ah. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:[29]
وما جعل عليكم فى الدين من حرج
Tetapi dalam suatu riwayat lain dari Imam Abu Hanifah dijelaskan bahwa beliau mewajibkan mereka berhaji sendiri, bila mendapatkan pembimbing atau pemandu yang membantu perjalanannya.[30] Bila tidak demikian, mereka dengan harta yang dimilikinya boleh menyewa orang lain untuk menghajikan diri mereka. Menurut satu riwayat masyhur menjelaskan bahwa menurut Imam Abu Hanifah orang buta meskipun memiliki bekal dan kendaraan serta pembimbing tidak diwajibkan haji.[31]
Selain syarat-syarat tersebut, Imam Abu Hanifah menambahkan satu syarat lagi yang juga harus dipenuhi, yaitu keamanan dalam perjalanan. Karena, meskipun tidak menyebutkan adanya keamanan, tetapi penafsiran istatha’ah dengan adanya bekal dan kendaraan mengandung unsur lain yaitu keamanan, disamping karena memiliki persamaan makna dengan sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk bisa sampai ke Makkah.[32]
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keamanan bukan menjadi syarat wajib haji, tetapi sebagai syarat untuk melaksanakan haji ( ادإ الحج ) karena Nabi Muhammad SAW. tidak menyebutkan adanya keamanan sebagai syarat wajib, kecuali dengan adanya bekal dan kendaraan. Perbedaan ini muncul berkaitan dengan perlu tidaknya adanya wasiat bila dikemudian hari terjadi kematian sebab lewatnya waktu (kehilangan kesempatan). Menurut ulama yang berpendapat bahwa keamanan menjadi syarat wajib haji, tidak mewajibkan adanya wasiat, karena ibadah haji tidak wajib baginya dan juga tidak wajib diqada` orang lain. Sedangkan menurut ulama yang berpendapat keamanan menjadi syarat melaksanakan haji, wajib berwasiat jika dikuatirkan lewat waktu.[33]
Haji merupakan ibadah yang mengharuskan seseorang untuk mamiliki kesiapan fisik maupun harta. Apabila tidak mampu untuk menjalankannya, maka bisa digantikan oleh orang lain. Begitu juga bagi seseorang yang meninggal dunia setelah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan haji, maka boleh diwakilkan oleh ahli warisnya maupun orang lain. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan untuk menggantikan haji orang yang meninggal, tetapi hanya memperbolehkan saja.[34]
Kewajiban haji bagi orang yang meninggal menjadi gugur kalau dari segi kewajiban fisik (badan) karena ketidakmampuannya mengerjakan haji dengan badan,[35] Tetapi apabila dia berwasiat agar mengeluarkan upah haji, maka ahli warisnya harus mengeluarkan sepertiga dari harta warisan. Apabila seseorang berwasiat dengan menentukan jumlah harta yang dikeluarkan untuk berhaji dan tempat memulainya haji, maka ahli warisnya berkewajiban untuk melaksanakannya. Dan apabila tidak menentukannya, maka wajib dihajikan dari tempat tinggal orang yang meninggal dengan menggunakan sepertiga dari harta peninggalannya. Dan apabila tidak mencukupinya (dengan menggunakan sepertiga harta warisan), maka dihajikan dari tempat yang sekiranya cukup dengan harta tersebut. Dan apabila dengan harta tersebut tidak mencukupi sama sekali, maka wasiat tersebut dianggap batal.
Pada dasarnya, setiap orang boleh menjadikan pahala dari amal perbuatannya untuk orang lain seperti salat, puasa, sadaqah, dan lain sebagainya (termasuk dalam hal ini membaca al-Qur`an dan berzikir), menurut golongan ahlu as-Sunnah wal Jama’ah.[36] Hal ini menunjukan bahwa dalam haji sekalipun, apabila digantikan oleh orang lain maka pahala haji tetap menjadi milik orang yang digantikan.
Pendapat di atas, masyhur dikalangan mazhab Hanafi, dengan syarat bahwa ongkos yang dikeluarkan untuk haji berasal dari harta peninggalan atau sebagian besar harta yang digunakan milik orang yang memerintah.[37] Apabila ongkos yang digunakan untuk haji itu menggunakan harta orang yang mewakili, maka hajinya akan menjadi milik orang yang menghajikan, dan juga apabila sebagian besar harta yang digunakan untuk ongkos haji berasal dari orang yang mewakili.
Bagi orang yang mewakili, menurut Imam Abu Hanifah, tidak diharuskan untuk berhaji lebih dahulu untuk bisa menghajikan orang lain. Imam Abu Hanifah  berhujjah dengan menggunakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:[38] Bahwa Nabi Muhammad SAW. memperbolehkan wanita khas’am untuk menghajikan orang tuanya tanpa memberikan ketentuan lebih rinci apakah diharuskan lebih dulu berhaji untuk dirinya sendiri atau tidak. Beliau menafsirkan hadis tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW. mengisyaratkan untuk lebih mendahulukan haji bagi dirinya sendiri, sehingga beliau berpendapat, sesungguhnya lebih dulu berhaji untuk dirinya sendiri lebih utama sebelum menghajikan orang lain,[39] hal ini dikarenakan untuk lebih menjauhkan dari perbedaan di kalangan ulama.

D.      Penutup / Kesimpulan


Imam Abu Hanifah dan madzhab yang lain memandang istatha’ah secara umum sebagai syarat wajib haji, sehingga apabila seseorang sudah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji dengan memiliki istatha’ah secara sempurna. Apabila seseorang meninggal sebelum melaksanakan haji, maka menurut Imam Abu Hanifah tidak diwajibkan untuk menghajikannya, tetapi hanya memperbolehkan saja —karena kewajiban haji tersebut telah gugur, kecuali kalau dia berwasiat, maka harus dilaksanakan dengan sepertiga dari harta warisannya. Di sisi lain, Imam Abu Hanifah memaparkan bahwa haji bertujuan mengagungkan baitullah, dan orang yang meninggal tidak bisa untuk pergi ke sana, maka kewajiban haji baginya gugur.




BIBLIOGRAFI



Abdul Wahab al-Ansari, t.t, Mizanul Kubra, I & II, Beirut: Dar al-Fikr.

Abu Zahra, 1997, Abu Hanifah Hayatuhu wa ‘Asruhu wa ‘Ara`uhu wa Fiqhuhu, Beirut : Dar al-Fikr.

Ahmad asy-Syirbasi, 1991, al-A`immat al-Arba’ah, alih bahasa: Sabil Huda dan Ahmadi, Sejarah dan Biografi Imam Mazhab, cet. ke-1. Jakarta: Bumi Aksara.

Cyril Glesse, 1999, The Encyclopaedia Of Islam, alih bahasa: Ghufron Mas’adi, cet. ke-2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Departement Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1993., Surabaya: Surya Cipta Aksara.

Huzaemah Tahido Yanggo, 1997, Pengantar Perbandingan Mazhab, cet. ke-1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 

Ibn al-Himam, t.t,  Syarah Fath al-Qadar, III, Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn al-Humam, t.t,  Syarah Fath al-Qadir, II, Beirut: Dar al fikr.

Ibn Mas’ud al-Kasani, 1402H/1982, Badai’ as-Sanai’, II, Beirut: Dar al-Fikr

Imam al-Bukhari, 1981, Sahih al-Bukhari, II, Beirut: Dar al Fikr.

M. Bahri Ghazali dan Djumadris, 1992, Perbandingan Mazhab, cet. ke-1, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

Moenawar Cholil, 1994, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. ke-9, Jakarta: Bulan Bintang

Muchtar Adam, 1997, Tafsir Ayat-Ayat Haji, Telaah Intensif dari Pelbagai Mazhab, Bandung: Mizan

Muhammad Jawad Mughiyah, 1996, Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah, alih bahasa: Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, cet. ke-2, Jakarta: PT Lentera Basritama.

Muslim Ibrahim, 1990, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta: Erlangga.

Mutawakil Ramli, 2002, Mari Memabrurkan Haji: Kajian Dari Berbagai Mazhab, Bekasi: Gugus Press.

Sobhi Mahmassani, 1976Falsafat at-Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa:  Ahmad Sujono, Filsafat Hukum dalam Islam, cet. ke-3, Bandung: PT al-Ma’arif.

Syamsuddin as-Sarkhasi, t.t.), Al-Mabsut, III, Beirut: Dar al-Ma’rifat.

Tamar Djaya, 1991, Studi Perbandingan 4 Iman Mazhab, cet. 3, Solo: C.V. Ramadhani

T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1997, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, cet. ke-1, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.




[1] Penulis adalah staf pengajar pada Prodi Ekonomi Syari’ah dan  Ahwal al- Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Qosim (STAIRA) Lamongan.
[2]. Ibn al-Himam, Syarah Fath al-Qadar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), III,  hlm. 142.
[3]. Mutawakil Ramli, Mari Memabrurkan Haji: Kajian Dari Berbagai Mazhab (Bekasi: Gugus Press, 2002), hlm. 11.

[4]. Ibid, hlm. 20.
[5]. Muchtar Adam, Tafsir Ayat-Ayat Haji, Telaah Intensif dari Pelbagai Mazhab, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 44-45.
[6]. Abu Zahra, Abu Hanifah Hayatuhu wa ‘Asruhu wa ‘Ara`uhu wa Fiqhuhu (Beirut : Dar al-Fikr, 1997), hlm. 12. Baca juga Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet. ke-1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 95, 

[7]. Ahmad asy-Syirbasi, al-A`immat al-Arba’ah, alih bahasa: Sabil Huda dan Ahmadi, Sejarah dan Biografi Imam Mazhab, Cet. ke-1, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 14
[8]. Muhammad Jawad Mughiyah, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah, alih bahasa:  Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Cet. ke-2, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), hlm. xxv-xxvi.
[9]. M Bahri Ghazali dan Djumadris, Perbandingan Mazhab, Cet. ke-1, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 50, juga Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 70.
[10]. Lihat Moenawir Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Cet. ke-9, (Jakarta: Bulan Bintang , 1994 ), hlm.20.

[11]. Cyril Glesse, The Encyclopaedia Of Islam, alih bahasa: Ghufron Mas’adi, Cet. ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 8.
[12]. Ibid., Selanjutnya lihat Sobhi Mahmassani, Falsafat at-Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa:  Ahmad Sujono, Filsafat Hukum dalam Islam, Cet. ke-3, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1976), hlm. 54.

[13]. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. ke-1, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 457-458.
[14]. Tamar Djaya, Studi Perbandingan 4 Iman Mazhab, Cet. 3, (Solo: C.V. Ramadhani, 1991), hlm. 45.
[15]. Ibid, hlm. 4.
[16]. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, hlm. 102. Lihat pula Sobhi Mahmassani, Falsafat al-Tasyri’ fi al-Islam, Alih Bahasa: Ahmad Sudjono, hlm. 56.
[17]. Murtadha Muthahhari dan M. Baqir as-Sadr, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, hlm. 54-55.

[18]. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan…,  hlm. 97-98.
[19]. Sobhi Mahmassani, Falsafat at-Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa: Ahmad Sujono, hlm.53.

[20]. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan…, hlm. 98.

[21]. Muhammad Abu Zahra, Abu Hanifah…, hlm. 239.

[22]. Ungkapan Abu Hanifah tersebut sebagai keterangan tentang tata cara beliau dalam berijtihad atau menggunakan pikiran dengan cara yang luas karena beliau berpendapat bahwa pendapat-pendapat atau kata-kata dari para pengikut-pengikut (tabi’in) tidak pasti beliu menurutnya. Manakala tidak mendapat nas-nas apakah dari al-Qur’an atau Hadis dan juga tidak mendapat dari sahabat-sahabat beliau berpendapat bahwa harus menyingkronkannya.

[23]. Ahmad asy-Syurbasi, al-Aimatu al-Arba’ah, hlm. 19-20.

[24]. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. ke-7, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), hlm. 78-79.
[25]. Ibn Mas’ud al-Kasani, Badai’ as-Sanai’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1402H/1982), II, hlm. 182.

[26]. Ibid, hlm. 182.
[27]. Ali Imran (3) : 97.
[28]. Ibn Mas’ud al-Kasani, Bada`i’ aş-Şana`i’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1402H/1982), II, hlm.184-185.
[29]. Al-Hajj (22) : 78.

[30]. Ibn al-Humam, Syarah Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al fikr, t.t), II, hlm. 415.
[31]. Ibid. hlm.  415.
[32]. Ibn Mas’ud al-Kasani, Badā’i’…,  hlm. 187.
[33]. Ibid.

[34]. Abdul Wahab al-Ansari, Mizanul Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), I, hlm. 125, dan II, hlm. 29.
[35]. Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsut, III, hlm. 154.
[36]. Ibn al-Himam, Syarah Fath al-Qadar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), III,  hlm. 142.
[37]. Ibid., hlm. 147.

[38]. Imam al-Bukhāri, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al Fikr, 1981), II, hlm. 218
[39]. Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Ma’rifat,t.t.), III, hlm. 151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar