Laman

Rabu, 15 Maret 2017

TEORI HUDUD DAN PENERAPANNYA TERHADAP AYAT-AYAT GENDER

(Study kritis terhadap pemikiran Muhammad Shahrur
dalam al-Kitab Wa al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah)
Oleh : Siti Aminah, S.H.I., M.Pd.I[1]


Abstraksi
 
Munculnya teori ini disebabkan karena adanya kebekuan berfikir umat yang ditandai dengan bergantungnya segala permasalahan hukum kepada imam-imam mereka. Apa yang disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu tetap ia pegangi tanpa mencoba melakukan kajian ulang apakah pendapatnya masih relevan dengan kondisi sekarang. Ini yang menyebabkan hukum Islam tidak bisa berkembang seiring kemajuan zaman. Karenanya, Shahrur melakukan penggugahan terhadap kemapan berfikir ulama terdahulu dengan menawarkan konsep hudud (teori batas). Bagi Shahrur hukum itu harus shalih li kulli zaman wa makan. Hukum itu harus aplikatif dalam setiap waktu dan tempat.

Kata Kunci : Teori, Hudud, Ayat Gender


A.      Pengantar

Diskursus tentang wanita dan kedudukannya dalam kehidupan sosial tidak akan pernah selesai untuk di perbincangkan. Apalagi dalam masyarakat yang secara umum bersifat partileneal (memuliakan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan).  Ketika alat analisis gender dalam ilmu-ilmu sosial ditemukan, barulah terasa “ada yang tidak beres”  dalam keseharian hidup kita. Satu contoh hampir semua ulama fiqh pada periode awal tidak banyak memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat gender yang ada Al Qur an sehingga mereka memahaminya secara literal. Akibatnya tidak heran kalau hukum islam banyak menghadapi serangan gencar di abad modern dengan tuduhan telah “menindas” kaum perempuan dan menjadikan perempuan kaum “kelas dua”.  
Untuk meluruskan kembali tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Islam, maka banyak ulama-ulama modern yang mencoba melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur an yang terkait dengan gender, meski harus bertentangan dengan ulama-ulama salaf. Ini dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa Islam adalah agama yang men-justifikasi adanya perbedaan status, kedudukan laki-laki dan perempuan dalam stuktur kehidupan masyarakat.
Disilah tampak apa yang dilakukan oleh Muhammad Abduh (Salah satu ulama Kontemporer) yang dengan beraninya membongkar ulang tafsir-tafsir klasik dan selanjutnya memberikan alternatif penafsiran yang lebih humanis dan sesuai dengan kondisi saat ini. Konsep yang ditawarkan dan banyak diikuti ilmuan saat ini adalah proses penciptaan wanita dari jenis yang sama dengan laki-laki. Teori ini membantah terhadap konsep yang sejak awal telah diikuti oleh banyak ulama bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Apa yang dilakukan Abduh ini kemudian mengilhami Ilmuan-ilmuan berikutnya untuk lebih berani melakukan kajian ulang tehadap teks-teks Al Qur an agar lebih membumi dan mudah diterima akal manusia. Ilmuan tersebut diantaranya adalah  Muhammad Syahrur. Bagi Muhammad Syahrur arti yang terkandung dalam teks Al Qur an mengalami perkembangan sesuai dengan bertambahnya masa. Dalam konteks ayat-ayat gender, adalah logis kalau kita menggunakan teori-teori modern untuk memahami al Qur an, Salah satu teori yang ditawarkan adalah teori Hudud (teori perbatasan).
Dalam interpretasi ayat-ayat gender, Syahrur banyak berpegang kepada konsep al-hudud  yang dirumuskannya, yaitu: al-hadd al-adna (batas minimal),  al-hadd al-a’la (batas maksimal) dan ma baynahuma (yang diantara keduanya). Dia menuduh bahwa kesalahan para fugaha’ disebabkan mereka mencampur adukkan ayat-ayat gender yang terdapat dalam al Qur an antara yang bersifat hudud dengan yang bersifat ta’limat (informatif). Ayat-ayat yang bersifat ta’limat bisa dilanggar atau tidak dikerjakan atau malah mengerjakan yang sebaliknya, karena dia hanya sekedar petunjuk etis. Adapun ayat-ayat hudud harus bisa mentoleransi perilaku-perilaku anak manusia selama perilaku tersebut masih dalam batas ma bainahuma dan belum meliwati perbatasan al-adna (minimum) ataupun yang al-a’la (maksimum).

B.       Biografi singkat [2]
            Muhammad Shahrur Deyb dilahirkan di Damaskus, Suriah, pada tanggal 11 Maret 1938. Ia menempuh pendidikan dasar dan menengahnya pada lembaga pendidikan Abd al Rahman al Kawakibi, di Damaskus, dan tamat pada 1957. Ia kemudian mendapat bia siswa pemerintah untuk studi teknik sipil (al-Handasah al-Madaniyah) di Moskow pada Maret 1957. Ia berhasil memperulih gelas diploma dalam teknik sipil pada tahun 1964. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen fakultas teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya ia dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia tepatnya di Ireland Nation University, untuk memperulih gelar master of science-nya pada tahun 1969 dan gelas doktoralnya pada tahun 1972.
            Pada tahun 1982 - 1983, Muhammad Shahrur dikirim kembali oleh pihal Universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al Saud Consult di Arab. Ia juga bersama dengan beberapa temannya di fakultas membuka biro konsultan teknik dar al-ishtisharat al-handasah di Damaskus.
            Ia juga menguasai bahasa Inggris dan Rusia, selain bahasanya sendiri bahasa Arab. Di samping itu ia juga menekuni bidang yang manarik perhatiannya yaitu filsafat humanisme dan pendalaman makna bahasa Arab.                 

C.      Teori Hudud, Sebuah Tawaran Pemikiran Menyikapi Problematika Fiqh 

Tipikal seorang ilmuan sangat kentara perpengaruh terhadap produk pemikiran Syahrur. Terutama ketika ia memberkenalkan sebuah teori batas (The Teory of Limits).[3] Al-Islam Shalihun li kulli zaman wa makan, nampaknya telah menjadi konsep kunci bagi Sharur untuk melakukan konstruksi baru dalam pemikiran keislaman. Shahrur melihat bahwa problematika peradaban Islam dan fiqh Islam terkait dengan risalah Nabi saw. Namun risalah itu tidak difahami secara benar. Ia menjadi bersifat tertutup, kaku dan  dinamis. Akibatnya, masyarakat Islam kontemporer cenderung mengambil produk-produk hukum pemikiran diluar Islam. Hal ini secara tidak langsung memberi kesan bahwa Islam tidak Shalih li kulli zaman wa makan dan ini tentunya bertolak belakang dengan al-Qur an. (al-Albiya’ : 107). [4]
            Ia mengamati adanya akar-akar yang menjadi salah satu penyebab ketidak dinamisan, serta kekakuan pada hukum Islam (fiqh). Bermula pada fenomeda sosial keagamaan  di permukaan abad kedua Hijriyah. Dimana ilmu-ilmu keislaman mulai di-sistematik-an. Seperti prinsip-prinsip dasar filsafat fiqh yang dicanangkan oleh al-Shafi’i dalam al Risalah-nya, juga ilmu ketata bahasaan Arab oleh Sibaweh dan Kissai (al Taraduf) dalam ungkapan bahasa Arab yang berlainan. Sementara dalam salah satu acuan yang menjadi prinsip dasar fiqh, yaitu al Sunnah, al Shafi’i menawarkan toleransinya yang membolehkan untuk meriwayatkan al Sunnah dengan makna, sehingga menggeser konsep keharusan periwayatan dengan lafadz  yang selama itu menjadi pertimbangan bagi ke-autentik-an al sunah.  Sharur menganggap bahwa sikap al Shafi-i ini telah menunjukkan keterpengaruhannya oleh teory taraduf yang berkembang dan seolah disepakati ketika itu.[5]             
            Untuk itu, agar fiqh tetap bisa benar-benar berkembang sesuai dengan universalitas Islam, maka fiqh Islam - menurut Shahrur - harus benar benar disterilkan dari unsur-unsur diatas. Ia menyatakan arti penting penahanan diri dari menjadikan hukum-hukum fiqh sebagai landasan bagi setiap argumen. Ia selanjutnya mengetengahkan alasan tersebut bahwa, dikalangan orang-orang Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang hukum-hukum fiqh tersebut. Kedua, hukum-hukum fiqh tersebut memuat tanda-tanda sejarah dari zaman dimana ia diciptakan dan masyarakat dimana ia dibentuk. Aturan-aturan ini telah dipalsukan dalam konteks despotisme di satu sisi dan otoritas kaum pria (al Fiqh al Rijali) disisi yang lain, khususnya hal-hal menyangkut hak-hak wanita.
            Selanjutnya dalam memahami teks-teks hukum, Shahrur kemudian mengenalkan apa yang disebutnya sebagai teori batas. Ia mengetengahkan bahwa Allah SWT telah menetapkan konsep-konsep hukum batas maksimum (a-had al a’la) dan hukum batas minimum (al had al adna). [6]
            Terkait dengan teori batas yang dikemukakannya, Shahrur menjelaskan enam model, yaitu :
1.     Batas Minimum
2.     Batas Maksimum
3.     Batas Minimum dan Maksimum sekaligus.
4.     Batas Minimum dan Maksimum sekaligus tapi dalam satu titik kordinat.
5.     Batas Maksimum dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan.
6.     Batas maksimum positif dan tidak boleh dilampui, batas minimum negatif boleh dilampui.       
            Model pertama adalah teori minimum, dimana apliksinya dalam fiqh adalah ketentuan hukum minimum yang telah ditentukan oleh al-Quran. Dalam hal ini ijtihad manusia tidak memungkinkan untuk mengurangi ketentuan minimal tersebut, namun memungkinkan untuk menambah. Sebagaimana tercantum dalam surat an-Nisa’, seperti ibu, adik, dan lain-lain, itu adalah batas minimumnya tidak boleh dikurangan kriteria wanita yang telah disebutkan tersebut, namun boleh dibolehkan untuk ditambah kriteria yang masuk berdasarkan ijtihad manusia, misalnya anak paman atau bibi, yang selama ini dibolehkan untuk dinikahi didasarkan atas pertimbangan maslahah, misalnya alasan medis dan sebagainya.[7]
            Teori kedua:  Batas maksimum yaitu batas paling atas atau tinggi yang telah ditetapkan dan tidak mungkin dilampui, namun memungkinkan untuk memperingan- nya. Sebagai contoh, hukuman potongan tangan bagi pencuri. Hukuman bagi pencuri tidak mungkin diperberat lagi diatas ketentuan potong tangan. Contoh lain pada hukuman bunuh pada pembunuh yang disengaja, yang tidak boleh melampui dengan membunuh pihak-pihak lain seperti keluarga yang tidak terlibat. Akan tetapi boleh memperingannya dengan persyaratan.[8]
            Teori ketiga: Batas Maksimum dan Minimum sekaligus. Ialah batas dimana al-Qur an menetapkan kedua batas tersebut, dan daerah operasi ijtihad berada diantara keduanya. Sebagai contoh pembagian ketentuan hukum warisan bagi laki-laki, batas maksimumnya 2 kali perempuan, dan batas minimum perempuan 0,5 kali laki-laki. Maka dalam hal ini ijtihad bergerak diatas dua batas  (had) tersebut dengan memungkinkan  untuk dilakukan hukum persamaan antar keduanya, melihat keterlibatan wanita, peran dan status sosialnya.[9] 
            Teori keempat: Batas Minimum dan Maksimum bersamaan dalam satu koordinat.  Menurut teori ini ketentuan had maksimalnya juga menjadi had minimalnya, sehingga ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat dan atau yang lebih ringan. Contoh hukuman bagi pelaku perzinaan dalam al-Qur an sebagai had maksimun dan miminumnya sekaligus, karena dalam ayat tersebut ada term “ra’fah” yang berarti tidak ada keringanan. Ruang ijtihad hanya terbuka dalam hal saksi bukan hukumannya.[10]       
            Teori kelima : Batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa sentuhan. Dimana dalam al-Qur an had paling atas telah ditentukan, namun karena tidak ada sentuhan dengan had maksimum, maka hukuman belum dapat ditetapkan. Contoh, pada hukuma Khalwat, hubungan antara pria dan wanita yang tidak melakukan perzinaan. Dalam hal ini hukum batas atas yang telah ditetapkan adalah hukuman zina, namun bila pria dan wanita  tersebut hanya berkhalwat tanpa ada persentuhan, atau persentuhan tapi belum zina, maka had zina belum dijatuhkan.[11]     
            Teori keenam: Batas diatas maksimum tidak boleh dilewati dan batas bawah negatif boleh dilewati. Seperti tasarruf harta, had atas yang tidak boleh dilewati adalah riba. Had bawah yang boleh dilewati adalah zakat (zakat sebagai batas negarif kerena ia adalah batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dua hal ini adalah riba yang diperkenankan yaitu yang tidak melewati had atas, yaitu riba yang ad’afan muda’afatan.[12] 

D.     Penerapan teori hudud pada ayat-ayat Gender
Ada beberapa ayat al-Qur an yang menjadi perhatian Shahrur dan mencoba untuk dirumuskan kembali, baik yang terkait dengan penerapan teori hudud atau terkait dengan akal pikiran manusia yang tidak dapat menerima pemahaman ayat tersebut. Diantaranya adalah al-Nisa’: 3, al-Nur: 31, al-Imran: 14, dan al-Baqarah: 223.
Ambil contoh dalam surat an-Nur 31: Dan hendaknya mereka menutupkan (yadlribna) kain kudung ke dadanya (juyubihinna), dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali pada istri mereka ... Dan janganlah mereka mengentakkan kakinya ke bumi agar perhiasannya yang mereka sembunyikan diketahui.
Bagi Shahrur kata al-dharb dalam bahasa Arab mempunyai dua arti. Yang pertama adalah melangkah diatas muka bumi untuk kepentingan profesi, perdagangan dan jalan-jalan (perhatikan QS al-Nisa’ 94). Adapun yang kedua berarti pembentukan, menjadikan dan pelaksanaan (QS Ibrahim 45). Adapun kata al-Khumur berasal dari al-khamr yang berarti penutup. Sedangkan kata juyub adalah bentuk jama’ dari al-jayb, yang berarti suatu hal yang terbuka dan mempunyai dua tingkat, tidak sekedar satu. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai kantong atau lobang pakian.[13]
Dari sini ahirnya Shahrur menerjemahkan ayat diatas sebagai berikut: Dan jadikanlah kain penutup tubuh kalian diatas bagian tubuh yang berlekuk/bercelah dan mempunyai tingkat ...Dan janganlah kalian berprofesi yang menunjukkan perhiasaan diri kalian yang tersembunyi.[14]
Apabila dikaitkan dengan konsep Syahrur tentang al-hadd al-adna dan al-hadd al-a’la kemudian dibandingkan dengan hadist nabi bahwa seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan, maka bisa dikatakan disini bahwa al-hadd al-adna dari bagian bubuh yang harus ditutup adalah bagian-bagian yang termasuk kategori al-juyub (lekuk tubuh yang mempunyai celah dan bertingkat). Sedangkan al-hadd al-a’la nya adalah bagian-bagian yang termasuk ma dhahara minha (wajah, telapak tangan dan telapak kaki). Konsekwensinya, seorang perempuan yang menutup seluruh bagian tubuhnya telah melanggar hudud Allah, demikian juga perempuan yang memperlihatkan tubuhnya lebih dari yang termasuk kategori al-juyub. Dan diperbolehkan perempuan untuk berpakian “sekehendaknya” selama masih dalam batasan antara keduanya dan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan al-zinah al-khafiyah (perhiasan yang harus disembunyikan).       
            Contoh lain dalam surat al-Baqarah 223 : Istri-istrimu (Nisa’ukum) adalah tanah tempat kamu (hartsun lakum) bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu sebagaimana saja kamu kehendaki (anna shi’tum).
            Menurut Shahrur lafal Nisa’ukum tidak boleh diartikan sebagai istri-istri kalian, tetapi harus diartikan sebagai: hasil usaha. Arti ini diambil dari kata  an-Nasi’ah, bentuk tunggal dari al-Nisa’. Kemudian al-harts diartikan mengumpulkan (al-jam’u) dan mencari penghasilan (al-kasb) yang berkenaan dengan materi. Sedangkan dhamir Kum adalah kata ganti orang kedua plural yang dalam bahasa arab lazim digunakan untuk kedua jenis kelamin, apabila dalam susunan katanya ada qarinah yang menjelakan maksud.[15] 
            Dari penjelasan diatas ahirnya Shahrur menerjemahkan ayat tersebut dalam sebuah format baru yang berbeda dengan yang biasa dikenal: Hasil usaha kalian (wahai laki-laki dan perempuan) adalah kapital yang kalian kumpulkan dari pekerjaan kalian. Maka perlakukanlah pekerjaan kalian seperti yang kalian kehendaki. Dan kerjakanlah perbuatan yang menguntungkan kalian dan bertakwalah kepada Allah (dalam pekerjaan kalian itu). Serta ketahuilah bahwa kelak kamu akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.  
            Dalam surat al-Nisa’ 3. Ayat yang menunjukan diperbolehkannya poligami: Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil (An la tuqsithu) terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (An la ta’dilu), maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
            Menurut Shahrur kata tuqsithu berasal dari kata qasatha dan ta’dilu berasal dari kat ‘adala. Kata qasatha menpunyai dua pengertian yang kontradiktif, makna yang pertama adalah al adlu  sedang makna yang kedua adalah al-dzulm wa al-jur. Begitu pula kata al-adl mempunyai arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ dan juga bisa berarti al-a’waj (bengkok). Disisi lain ada perbedaan antara dua kalimat tersebut, al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-adl harus dari dua sisi. [16]
            Dengan demikian maka dapat ditarik kesimpulan “Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (Namun, kalau kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim), maka kamu kawinilah para janda tersebut dua, tiga, atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim).  
            Ayat ini menjelaskan bahwa hadd al-adna atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin seseorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, karena empat adalah batas maksimum, sedang kalau seseorang beristri lebih dari itu berarti dia telah melanggar hudud Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf)   
Yang dimaksud Hadd fi al-kayf disini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayib / armalah (janda) ?  Kita harus melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub memakai shighat syarth,  Jadi seolah-olah kalimatnya begini ”Fankihu ma thaba lakum min an-nisa’ matsna wa tsulasa wa raba” dengan syarat kalau “Wain khiftum an la tuqsithu fi al-yatama”  Dengan kata lain, untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat disyaratkan dari armalah (janda yang mempunyai anak yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anak yang yatim. Hal ini akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil antara anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.[17]

E.       Analisa penulis   
            Sebenarnya apa yang di kemukakan Shahrur mengenai teori hudud menarik untuk di cermati mengingat ini merupakan tawaran alternatif menghadapi kemampetan berfikir dalam penerapan hukum-hukum fiqh. Setelah meneliti secara seksama, penulis menemukan beberapa kelemahan argumentasi yang ditawarkan :
Pertama: Seperti yang diungkap oleh Khalil Abd Rahman Al-Akk, kesalahan utama Shahrur adalah pelanggaran terhadap methodologi tafsir al-Qur an yang secara ilmiyah sudah dianggap baku.[18] Dan menurut Salim Al-Jabi, kerena tidak mengikuti petunjuk yang sudah ada, pemisalan Syahrur adalah seperti orang yang meraba-raba yang akan terjadi dimasa depan tanpa memiliki landasan apapun. Diapun menuding Shahrur dengan sebuah postulat arab Kadzaba ”al-munajjinun wa law shadaqu” [19]
Kedua : Menurut methodologi tafsir yang baku, diantara yang membawa penafsiran kepada pemahaman yang lebih mendekati kebenaran adalah merujuk kepada sabab nuzul (konteks peristiwa) turunnya ayat tersebut. Karena dari sabab nuzul tersebut bisa diketahui latar belakang turunnya ayat dalam kerangka zamannya. Ternyata, panafsiran simantik murni ala Shahrur sama sekali tidak memperhatikan background
ini, sehingga terbawa oleh imajinasinya kepada thesis yang kurang dibenarkan. Sebagai contoh penafsian Shahrur terhadap surat Al Baqarah 223, yang sangat kontradektif dengan sabab nuzul yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Hakim dari Ibnu Abbas bahwa Ibnu Umar menceritakan keengganan beberapa perempuan Anshar untuk malayani suaminya (yang berasal dari kaum Muhajirin) dalam variasi seni bercinta, dengan berargumentasi mitos yang menjadi kepercayaan orang Yahudi Madinah saat itu.[20]
Ketiga: Konsekwensi dari penafsiran Shahrur tentang pakian wanita dalam al-Qur an, menjurus kepada dua kesimpulan yang terlalu riskan :
a.      Bahwa pakian termasuk di dalam ayat-ayat ta’limat, yang boleh tidak dilakukan karena manusia secara natural diciptakan telanjang. Firman Allah : Hai anak adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakian untuk menutupi auratmu dan pakian indah untuk hiasan ..  (al-A’raf 26). Ayat ini dalam klasifikasi Shahrur termasuk dalam ayat-ayat ta’limat.  Adapun perintah yang bersifat hudud,  hanya wajib dikerjakan apabila perempuan atau laki-laki itu berkumpul dengan orang-orang non muhrim (bukan suaminya). Firman Allah: Hanya untuk suamimu .. (al-Nur 31).   
b.     Bahwa hampir semua bentuk pakian penduduk dunia, dengan aneka ragam modelnya, masih disahkan menurut agama, kerena masih termasuk dalam katagori baina huma, menutup al-Juyub ( diantara payudara, dibawah payudara, ketiak, pantat dan kemaluan) sebagai al-hadd al-adna dan menutup seluruh tubuh kecuali ma dhahara minha (wajah, telapak tangan dan telapak kaki sebagai hadd al-a’la. Konotasinya, bahwa kaum perempuan masih diperbolehkan untuk memamerkan paha, mempertontonkan betis, memperlihatkan perut dan menampakkan rambut.     

F.        Penutup
            Saat ini kita hidup dalam sebuah masa yang memiliki percepatan yang luar biasa dalam segala lini kehidupan. Kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman namun tetap dalam koridor yang telah ditetapkan dalam al-Qur an. Pada titik inilah nampaknya teori batas (hudud) yang ditawarkan oleh Shahrur mempunyai relevansinya. Ia mengungkapkan sebuah metafora bahwa, sebagaimana pemain sepak bola, para pemain bermain didalam dan diantara garis lapangan. Itulah mestinya yang harus dilakukan oleh fuqaha’  saat ini, tidak seperti Fuqaha’ masa lalu yang selalu bermain digaris dan meninggalkan keseluruhan luas lapangan. Metafor ini dalam bahasa kita, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kita tidak membuat gol kalau bermain di garis.     

            Demikian semoga bermanfaat,














BIBLIOGRAPHI



Al-Akk, Khalil Abd Rahman, Al Furqan wa Al-Qur an, Damaskud: Al-Hikmah, 1994.

In’am Esha, Muhammad, Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Shahrur” dalam Bulletin al Huda Vol 2. Bandung: al-Huda Press, 2001.

al-Jabi, Salim, Mujarrad Tanjim, Vol 3, Damaskus: Akad, 1994.

Al-Syathibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqad fi Ushul Al-Syari’ah, Vol II, Bairut: Dar al-Ma’rifah, tt.

Shahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur an Qira’ah al-Mu’ashirah,  Kairo : Sina Publisher, 1992.

-----------, Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Suriah: al-Ahali Press, 2000.


[1] Penulis adalah Dosen Tetap STAI Raden Qosim Lamongan Pada Prodi Ekonomi Syari’ah, Lulusan Pascasarjana UNIPDU Jombang Prodi Menejemen Pendidikan Islam (MPI).

[2]  Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur an Qira’ah al-Mu’ashirah ( Kairo : Sina Publisher, 1992), Halaman Ahir.   
[3]  Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Shahrur” dalam Bulletin al Huda Vol 2. No (Bandung: al-Huda Press, 2001), 130
[4]  Ibid.
[5]  Muhammad Shahrur, Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami (Suriah: al-Ahali Press, 2000), 171 - 174.
[6]  Shahrur, al-Kitab, 450 - 452.
[7]  Ibid, 453.
[8]  Ibid, 455.
[9]  Ibid, 457.
[10]  Ibid, 463
[11] Ibid, 564
[12]  Ibid
[13]  Ibid, 597 - 598.
[14]  Ibid.
[15]  Ibid, 595
[16]  Ibid, 597-598.
[17]  Ibid, 598
[18]  Khalil Abd Rahman Al-Akk, Al Furqan wa Al-Qur an (Damaskud: Al-Hikmah, 1994), 5
[19]  Salim al-Jabi, Mujarrad Tanjim, Vol 3, (Damaskus: Akad, 1994) 7
[20] Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqad fi Ushul Al-Syari’ah, Vol II,(bairut, Dar al-Ma’rifah) 69-91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar