(Study
kritis terhadap pemikiran Muhammad Shahrur
dalam al-Kitab Wa al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah)
Oleh : Siti Aminah,
S.H.I., M.Pd.I[1]
Abstraksi
Munculnya
teori ini disebabkan karena adanya kebekuan berfikir umat yang ditandai dengan
bergantungnya segala permasalahan hukum kepada imam-imam mereka. Apa yang
disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu tetap ia pegangi tanpa mencoba melakukan
kajian ulang apakah pendapatnya masih relevan dengan kondisi sekarang. Ini yang
menyebabkan hukum Islam tidak bisa berkembang seiring kemajuan zaman.
Karenanya, Shahrur melakukan penggugahan terhadap kemapan berfikir ulama
terdahulu dengan menawarkan konsep hudud (teori batas). Bagi Shahrur hukum itu
harus shalih li kulli zaman wa makan. Hukum
itu harus aplikatif dalam setiap waktu dan tempat.
Kata Kunci : Teori,
Hudud, Ayat Gender
A. Pengantar
Diskursus
tentang wanita dan kedudukannya dalam kehidupan sosial tidak akan pernah
selesai untuk di perbincangkan. Apalagi dalam masyarakat yang secara umum
bersifat partileneal (memuliakan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan). Ketika alat analisis gender dalam ilmu-ilmu
sosial ditemukan, barulah terasa “ada yang tidak beres” dalam keseharian hidup kita. Satu contoh
hampir semua ulama fiqh pada periode awal tidak banyak memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat gender yang ada Al Qur an sehingga mereka memahaminya secara
literal. Akibatnya tidak heran kalau hukum islam banyak menghadapi serangan
gencar di abad modern dengan tuduhan telah “menindas” kaum perempuan dan
menjadikan perempuan kaum “kelas dua”.
Untuk
meluruskan kembali tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Islam, maka banyak
ulama-ulama modern yang mencoba melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al
Qur an yang terkait dengan gender, meski harus bertentangan dengan ulama-ulama
salaf. Ini dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa Islam adalah agama yang
men-justifikasi adanya perbedaan status, kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam stuktur kehidupan masyarakat.
Disilah
tampak apa yang dilakukan oleh Muhammad Abduh (Salah satu ulama Kontemporer)
yang dengan beraninya membongkar ulang tafsir-tafsir klasik dan selanjutnya
memberikan alternatif penafsiran yang lebih humanis dan sesuai dengan kondisi
saat ini. Konsep yang ditawarkan dan banyak diikuti ilmuan saat ini adalah proses
penciptaan wanita dari jenis yang sama dengan laki-laki. Teori ini
membantah terhadap konsep yang sejak awal telah diikuti oleh banyak ulama bahwa
wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Apa
yang dilakukan Abduh ini kemudian mengilhami Ilmuan-ilmuan berikutnya untuk
lebih berani melakukan kajian ulang tehadap teks-teks Al Qur an agar lebih
membumi dan mudah diterima akal manusia. Ilmuan tersebut diantaranya
adalah Muhammad Syahrur. Bagi
Muhammad Syahrur arti yang terkandung dalam teks Al Qur an mengalami
perkembangan sesuai dengan bertambahnya masa. Dalam konteks ayat-ayat gender,
adalah logis kalau kita menggunakan teori-teori modern untuk memahami al Qur
an, Salah satu teori yang ditawarkan adalah teori Hudud (teori
perbatasan).
Dalam
interpretasi ayat-ayat gender, Syahrur banyak berpegang kepada konsep al-hudud
yang dirumuskannya, yaitu: al-hadd
al-adna (batas minimal), al-hadd al-a’la (batas maksimal) dan ma
baynahuma (yang diantara keduanya). Dia menuduh bahwa kesalahan para fugaha’
disebabkan mereka mencampur adukkan ayat-ayat gender yang terdapat dalam al
Qur an antara yang bersifat hudud dengan yang bersifat ta’limat
(informatif). Ayat-ayat yang bersifat ta’limat bisa dilanggar atau
tidak dikerjakan atau malah mengerjakan yang sebaliknya, karena dia hanya
sekedar petunjuk etis. Adapun ayat-ayat hudud harus bisa mentoleransi
perilaku-perilaku anak manusia selama perilaku tersebut masih dalam batas ma
bainahuma dan belum meliwati perbatasan al-adna (minimum) ataupun
yang al-a’la (maksimum).
Muhammad
Shahrur Deyb dilahirkan di Damaskus, Suriah, pada tanggal 11 Maret 1938. Ia
menempuh pendidikan dasar dan menengahnya pada lembaga pendidikan Abd al Rahman
al Kawakibi, di Damaskus, dan tamat pada 1957. Ia kemudian mendapat bia siswa
pemerintah untuk studi teknik sipil (al-Handasah al-Madaniyah) di Moskow
pada Maret 1957. Ia berhasil memperulih gelas diploma dalam teknik sipil pada
tahun 1964. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen fakultas
teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya ia dikirim oleh pihak Universitas ke
Irlandia tepatnya di Ireland Nation University, untuk memperulih gelar master
of science-nya pada tahun 1969 dan gelas doktoralnya pada tahun 1972.
Pada tahun 1982 - 1983, Muhammad
Shahrur dikirim kembali oleh pihal Universitas untuk menjadi tenaga ahli pada
al Saud Consult di Arab. Ia juga bersama dengan beberapa temannya di fakultas
membuka biro konsultan teknik dar al-ishtisharat al-handasah di
Damaskus.
Ia juga menguasai bahasa Inggris dan
Rusia, selain bahasanya sendiri bahasa Arab. Di samping itu ia juga menekuni
bidang yang manarik perhatiannya yaitu filsafat humanisme dan pendalaman makna
bahasa Arab.
C.
Teori
Hudud, Sebuah Tawaran Pemikiran Menyikapi Problematika Fiqh
Tipikal
seorang ilmuan sangat kentara perpengaruh terhadap produk pemikiran Syahrur.
Terutama ketika ia memberkenalkan sebuah teori batas (The Teory of Limits).[3]
Al-Islam Shalihun li kulli zaman wa makan, nampaknya telah menjadi
konsep kunci bagi Sharur untuk melakukan konstruksi baru dalam pemikiran
keislaman. Shahrur melihat bahwa problematika peradaban Islam dan fiqh Islam
terkait dengan risalah Nabi saw. Namun risalah itu tidak difahami secara benar.
Ia menjadi bersifat tertutup, kaku dan
dinamis. Akibatnya, masyarakat Islam kontemporer cenderung mengambil
produk-produk hukum pemikiran diluar Islam. Hal ini secara tidak langsung
memberi kesan bahwa Islam tidak Shalih li kulli zaman wa makan dan ini
tentunya bertolak belakang dengan al-Qur an. (al-Albiya’ : 107). [4]
Ia mengamati adanya akar-akar yang
menjadi salah satu penyebab ketidak dinamisan, serta kekakuan pada hukum Islam
(fiqh). Bermula pada fenomeda sosial keagamaan
di permukaan abad kedua Hijriyah. Dimana ilmu-ilmu keislaman mulai di-sistematik-an.
Seperti prinsip-prinsip dasar filsafat fiqh yang dicanangkan oleh al-Shafi’i
dalam al Risalah-nya, juga ilmu ketata bahasaan Arab oleh Sibaweh dan
Kissai (al Taraduf) dalam ungkapan bahasa Arab yang berlainan. Sementara
dalam salah satu acuan yang menjadi prinsip dasar fiqh, yaitu al Sunnah, al
Shafi’i menawarkan toleransinya yang membolehkan untuk meriwayatkan al Sunnah
dengan makna, sehingga menggeser konsep keharusan periwayatan dengan
lafadz yang selama itu menjadi
pertimbangan bagi ke-autentik-an al sunah. Sharur menganggap bahwa sikap al Shafi-i ini
telah menunjukkan keterpengaruhannya oleh teory taraduf yang berkembang
dan seolah disepakati ketika itu.[5]
Untuk itu, agar fiqh tetap bisa
benar-benar berkembang sesuai dengan universalitas Islam, maka fiqh Islam -
menurut Shahrur - harus benar benar disterilkan dari unsur-unsur diatas. Ia
menyatakan arti penting penahanan diri dari menjadikan hukum-hukum fiqh sebagai
landasan bagi setiap argumen. Ia selanjutnya mengetengahkan alasan tersebut
bahwa, dikalangan orang-orang Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang
hukum-hukum fiqh tersebut. Kedua, hukum-hukum fiqh tersebut memuat tanda-tanda
sejarah dari zaman dimana ia diciptakan dan masyarakat dimana ia dibentuk.
Aturan-aturan ini telah dipalsukan dalam konteks despotisme di satu sisi dan
otoritas kaum pria (al Fiqh al Rijali) disisi yang lain, khususnya hal-hal
menyangkut hak-hak wanita.
Selanjutnya dalam memahami teks-teks
hukum, Shahrur kemudian mengenalkan apa yang disebutnya sebagai teori batas. Ia
mengetengahkan bahwa Allah SWT telah menetapkan konsep-konsep hukum batas
maksimum (a-had al a’la) dan hukum batas minimum (al had al adna).
[6]
Terkait dengan teori batas yang
dikemukakannya, Shahrur menjelaskan enam model, yaitu :
1. Batas Minimum
2. Batas Maksimum
3. Batas Minimum dan Maksimum sekaligus.
4. Batas Minimum dan Maksimum sekaligus tapi dalam satu
titik kordinat.
5. Batas Maksimum dengan satu titik yang cenderung
mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan.
6. Batas maksimum positif dan tidak boleh dilampui, batas
minimum negatif boleh dilampui.
Model pertama adalah teori
minimum, dimana apliksinya dalam fiqh adalah ketentuan hukum minimum yang
telah ditentukan oleh al-Quran. Dalam hal ini ijtihad manusia tidak
memungkinkan untuk mengurangi ketentuan minimal tersebut, namun memungkinkan
untuk menambah. Sebagaimana tercantum dalam surat an-Nisa’, seperti ibu, adik,
dan lain-lain, itu adalah batas minimumnya tidak boleh dikurangan kriteria
wanita yang telah disebutkan tersebut, namun boleh dibolehkan untuk ditambah
kriteria yang masuk berdasarkan ijtihad manusia, misalnya anak paman atau bibi,
yang selama ini dibolehkan untuk dinikahi didasarkan atas pertimbangan
maslahah, misalnya alasan medis dan sebagainya.[7]
Teori kedua: Batas maksimum yaitu batas paling atas
atau tinggi yang telah ditetapkan dan tidak mungkin dilampui, namun
memungkinkan untuk memperingan- nya. Sebagai contoh, hukuman potongan tangan
bagi pencuri. Hukuman bagi pencuri tidak mungkin diperberat lagi diatas
ketentuan potong tangan. Contoh lain pada hukuman bunuh pada pembunuh yang
disengaja, yang tidak boleh melampui dengan membunuh pihak-pihak lain seperti
keluarga yang tidak terlibat. Akan tetapi boleh memperingannya dengan
persyaratan.[8]
Teori ketiga: Batas Maksimum dan
Minimum sekaligus. Ialah batas dimana al-Qur an menetapkan kedua batas
tersebut, dan daerah operasi ijtihad berada diantara keduanya. Sebagai contoh
pembagian ketentuan hukum warisan bagi laki-laki, batas maksimumnya 2 kali
perempuan, dan batas minimum perempuan 0,5 kali laki-laki. Maka dalam hal ini
ijtihad bergerak diatas dua batas (had)
tersebut dengan memungkinkan untuk
dilakukan hukum persamaan antar keduanya, melihat keterlibatan wanita, peran
dan status sosialnya.[9]
Teori keempat: Batas Minimum dan
Maksimum bersamaan dalam satu koordinat.
Menurut teori ini ketentuan had maksimalnya juga menjadi had minimalnya,
sehingga ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat dan atau yang
lebih ringan. Contoh hukuman bagi pelaku perzinaan dalam al-Qur an sebagai had
maksimun dan miminumnya sekaligus, karena dalam ayat tersebut ada term “ra’fah”
yang berarti tidak ada keringanan. Ruang ijtihad hanya terbuka dalam hal saksi
bukan hukumannya.[10]
Teori kelima : Batas maksimum
dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa sentuhan. Dimana dalam al-Qur
an had paling atas telah ditentukan, namun karena tidak ada sentuhan
dengan had maksimum, maka hukuman belum dapat ditetapkan. Contoh, pada
hukuma Khalwat, hubungan antara pria dan wanita yang tidak melakukan
perzinaan. Dalam hal ini hukum batas atas yang telah ditetapkan adalah hukuman
zina, namun bila pria dan wanita
tersebut hanya berkhalwat tanpa ada persentuhan, atau persentuhan tapi
belum zina, maka had zina belum dijatuhkan.[11]
Teori keenam: Batas diatas
maksimum tidak boleh dilewati dan batas bawah negatif boleh dilewati.
Seperti tasarruf harta, had atas yang tidak boleh dilewati adalah riba.
Had bawah yang boleh dilewati adalah zakat (zakat sebagai batas negarif kerena
ia adalah batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dua hal ini adalah riba
yang diperkenankan yaitu yang tidak melewati had atas, yaitu riba yang ad’afan
muda’afatan.[12]
D. Penerapan teori hudud pada ayat-ayat
Gender
Ada
beberapa ayat al-Qur an yang menjadi perhatian Shahrur dan mencoba untuk
dirumuskan kembali, baik yang terkait dengan penerapan teori hudud atau terkait
dengan akal pikiran manusia yang tidak dapat menerima pemahaman ayat tersebut.
Diantaranya adalah al-Nisa’: 3, al-Nur: 31, al-Imran: 14, dan al-Baqarah: 223.
Ambil
contoh dalam surat an-Nur 31: Dan hendaknya mereka menutupkan (yadlribna)
kain kudung ke dadanya (juyubihinna), dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali pada istri mereka ... Dan janganlah mereka mengentakkan kakinya ke bumi
agar perhiasannya yang mereka sembunyikan diketahui.
Bagi
Shahrur kata al-dharb dalam bahasa Arab mempunyai dua arti. Yang pertama
adalah melangkah diatas muka bumi untuk kepentingan profesi, perdagangan dan
jalan-jalan (perhatikan QS al-Nisa’ 94). Adapun yang kedua berarti pembentukan,
menjadikan dan pelaksanaan (QS Ibrahim 45). Adapun kata al-Khumur berasal
dari al-khamr yang berarti penutup. Sedangkan kata juyub adalah
bentuk jama’ dari al-jayb, yang berarti suatu hal yang terbuka dan mempunyai
dua tingkat, tidak sekedar satu. Berbeda dengan penafsiran umum yang
mengartikannya sebagai kantong atau lobang pakian.[13]
Dari
sini ahirnya Shahrur menerjemahkan ayat diatas sebagai berikut: Dan jadikanlah
kain penutup tubuh kalian diatas bagian tubuh yang berlekuk/bercelah dan
mempunyai tingkat ...Dan janganlah kalian berprofesi yang menunjukkan
perhiasaan diri kalian yang tersembunyi.[14]
Apabila
dikaitkan dengan konsep Syahrur tentang al-hadd al-adna dan al-hadd
al-a’la kemudian dibandingkan dengan hadist nabi bahwa seluruh bagian tubuh
wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan, maka bisa dikatakan
disini bahwa al-hadd al-adna dari bagian bubuh yang harus ditutup adalah
bagian-bagian yang termasuk kategori al-juyub (lekuk tubuh yang
mempunyai celah dan bertingkat). Sedangkan al-hadd al-a’la nya adalah
bagian-bagian yang termasuk ma dhahara minha (wajah, telapak tangan dan
telapak kaki). Konsekwensinya,
seorang perempuan yang menutup seluruh bagian tubuhnya telah melanggar hudud
Allah, demikian juga perempuan yang memperlihatkan tubuhnya lebih dari yang
termasuk kategori al-juyub. Dan diperbolehkan perempuan untuk berpakian
“sekehendaknya” selama masih dalam batasan antara keduanya dan tidak
dimaksudkan untuk menunjukkan al-zinah al-khafiyah (perhiasan yang harus
disembunyikan).
Contoh lain dalam surat al-Baqarah
223 : Istri-istrimu (Nisa’ukum) adalah tanah tempat kamu (hartsun
lakum) bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu
sebagaimana saja kamu kehendaki (anna shi’tum).
Menurut Shahrur lafal Nisa’ukum
tidak boleh diartikan sebagai istri-istri kalian, tetapi harus diartikan
sebagai: hasil usaha. Arti ini diambil dari kata an-Nasi’ah, bentuk tunggal dari al-Nisa’.
Kemudian al-harts diartikan mengumpulkan (al-jam’u) dan mencari
penghasilan (al-kasb) yang berkenaan dengan materi. Sedangkan dhamir Kum
adalah kata ganti orang kedua plural yang dalam bahasa arab lazim digunakan
untuk kedua jenis kelamin, apabila dalam susunan katanya ada qarinah yang
menjelakan maksud.[15]
Dari penjelasan diatas ahirnya
Shahrur menerjemahkan ayat tersebut dalam sebuah format baru yang berbeda
dengan yang biasa dikenal: Hasil usaha kalian (wahai laki-laki dan perempuan)
adalah kapital yang kalian kumpulkan dari pekerjaan kalian. Maka perlakukanlah
pekerjaan kalian seperti yang kalian kehendaki. Dan kerjakanlah perbuatan yang
menguntungkan kalian dan bertakwalah kepada Allah (dalam pekerjaan kalian itu).
Serta ketahuilah bahwa kelak kamu akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang beriman.
Dalam surat al-Nisa’ 3. Ayat yang
menunjukan diperbolehkannya poligami: Dan jika kamu takut tidak dapat
berlaku adil (An la tuqsithu) terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila
kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua,
tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (An la
ta’dilu), maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Menurut Shahrur kata tuqsithu
berasal dari kata qasatha dan ta’dilu berasal dari kat ‘adala.
Kata qasatha menpunyai dua pengertian yang kontradiktif, makna yang
pertama adalah al adlu sedang
makna yang kedua adalah al-dzulm wa al-jur. Begitu pula kata al-adl mempunyai
arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ dan juga bisa berarti al-a’waj
(bengkok). Disisi lain ada perbedaan antara dua kalimat tersebut, al-qasth bisa
dari satu sisi saja, sedang al-adl harus dari dua sisi. [16]
Dengan demikian maka dapat ditarik
kesimpulan “Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak berbuat adil antara
anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu
kawini mereka. (Namun, kalau kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara
anak-anak mereka yang yatim), maka kamu kawinilah para janda tersebut dua,
tiga, atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-anak yatim
mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa
memelihara anak-anak yatim).
Ayat ini menjelaskan bahwa hadd
al-adna atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu,
karena tidak mungkin seseorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau
jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri
satu, dua, tiga atau empat orang maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT, karena empat adalah batas maksimum, sedang
kalau seseorang beristri lebih dari itu berarti dia telah melanggar hudud Allah.
Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa
memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan
batasan (hadd fi al-kayf)
Yang
dimaksud Hadd fi al-kayf disini adalah apakah istri tersebut masih dalam
kondisi bikr (perawan) atau tsayib / armalah (janda) ? Kita harus melihat hadd fi al-kayf ini
karena ayat yang termaktub memakai shighat syarth, Jadi seolah-olah kalimatnya begini ”Fankihu
ma thaba lakum min an-nisa’ matsna wa tsulasa wa raba” dengan syarat kalau
“Wain khiftum an la tuqsithu fi al-yatama” Dengan kata lain, untuk istri pertama tidak
disyaratkan adanya hadd al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda,
sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat disyaratkan dari armalah
(janda yang mempunyai anak yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri
lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anak yang yatim. Hal ini
akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi,
yaitu adil antara anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari
istri-istri berikutnya.[17]
E.
Analisa
penulis
Sebenarnya
apa yang di kemukakan Shahrur mengenai teori hudud menarik untuk di
cermati mengingat ini merupakan tawaran alternatif menghadapi kemampetan berfikir
dalam penerapan hukum-hukum fiqh. Setelah meneliti secara seksama, penulis
menemukan beberapa kelemahan argumentasi yang ditawarkan :
Pertama: Seperti
yang diungkap oleh Khalil Abd Rahman Al-Akk, kesalahan utama Shahrur adalah
pelanggaran terhadap methodologi tafsir al-Qur an yang secara ilmiyah sudah
dianggap baku.[18]
Dan
menurut Salim Al-Jabi, kerena tidak mengikuti petunjuk yang sudah ada,
pemisalan Syahrur adalah seperti orang yang meraba-raba yang akan terjadi
dimasa depan tanpa memiliki landasan apapun. Diapun menuding Shahrur dengan
sebuah postulat arab Kadzaba ”al-munajjinun wa law shadaqu” [19]
Kedua : Menurut
methodologi tafsir yang baku, diantara yang membawa penafsiran kepada pemahaman
yang lebih mendekati kebenaran adalah merujuk kepada sabab nuzul (konteks
peristiwa) turunnya ayat tersebut. Karena dari sabab nuzul tersebut bisa
diketahui latar belakang turunnya ayat dalam kerangka zamannya. Ternyata,
panafsiran simantik murni ala Shahrur sama sekali tidak memperhatikan background
ini,
sehingga terbawa oleh imajinasinya kepada thesis yang kurang dibenarkan.
Sebagai contoh penafsian Shahrur terhadap surat Al Baqarah 223, yang sangat
kontradektif dengan sabab nuzul yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
al-Hakim dari Ibnu Abbas bahwa Ibnu Umar menceritakan keengganan beberapa
perempuan Anshar untuk malayani suaminya (yang berasal dari kaum Muhajirin)
dalam variasi seni bercinta, dengan berargumentasi mitos yang menjadi
kepercayaan orang Yahudi Madinah saat itu.[20]
Ketiga:
Konsekwensi dari penafsiran Shahrur tentang pakian wanita dalam al-Qur an,
menjurus kepada dua kesimpulan yang terlalu riskan :
a.
Bahwa
pakian termasuk di dalam ayat-ayat ta’limat, yang boleh tidak dilakukan
karena manusia secara natural diciptakan telanjang. Firman Allah : Hai anak
adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakian untuk menutupi auratmu
dan pakian indah untuk hiasan ..
(al-A’raf 26). Ayat ini dalam klasifikasi Shahrur termasuk dalam
ayat-ayat ta’limat. Adapun
perintah yang bersifat hudud, hanya wajib dikerjakan apabila perempuan atau
laki-laki itu berkumpul dengan orang-orang non muhrim (bukan suaminya). Firman
Allah: Hanya untuk suamimu .. (al-Nur 31).
b.
Bahwa
hampir semua bentuk pakian penduduk dunia, dengan aneka ragam modelnya, masih
disahkan menurut agama, kerena masih termasuk dalam katagori baina huma,
menutup al-Juyub ( diantara payudara, dibawah payudara, ketiak, pantat
dan kemaluan) sebagai al-hadd al-adna dan menutup seluruh tubuh kecuali ma
dhahara minha (wajah, telapak tangan dan telapak kaki sebagai hadd
al-a’la. Konotasinya, bahwa kaum perempuan masih diperbolehkan untuk
memamerkan paha, mempertontonkan betis, memperlihatkan perut dan menampakkan
rambut.
F.
Penutup
Saat
ini kita hidup dalam sebuah masa yang memiliki percepatan yang luar biasa dalam
segala lini kehidupan. Kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman namun
tetap dalam koridor yang telah ditetapkan dalam al-Qur an. Pada titik inilah
nampaknya teori batas (hudud) yang ditawarkan oleh Shahrur mempunyai
relevansinya. Ia mengungkapkan sebuah metafora bahwa, sebagaimana pemain sepak
bola, para pemain bermain didalam dan diantara garis lapangan. Itulah mestinya
yang harus dilakukan oleh fuqaha’
saat ini, tidak seperti Fuqaha’ masa lalu yang selalu bermain
digaris dan meninggalkan keseluruhan luas lapangan. Metafor ini dalam bahasa
kita, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kita tidak membuat gol kalau
bermain di garis.
Demikian
semoga bermanfaat,
BIBLIOGRAPHI
Al-Akk,
Khalil Abd Rahman, Al Furqan wa Al-Qur an, Damaskud: Al-Hikmah,
1994.
In’am
Esha, Muhammad, Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Shahrur”
dalam Bulletin al Huda Vol 2. Bandung: al-Huda Press, 2001.
al-Jabi,
Salim, Mujarrad Tanjim, Vol 3, Damaskus: Akad, 1994.
Al-Syathibi,
Abu Ishaq, Al-Muwafaqad fi Ushul Al-Syari’ah, Vol II, Bairut: Dar
al-Ma’rifah, tt.
Shahrur,
Muhammad, al-Kitab wa al-Qur an Qira’ah al-Mu’ashirah, Kairo : Sina Publisher, 1992.
-----------,
Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Suriah: al-Ahali Press,
2000.
[1] Penulis
adalah Dosen Tetap STAI Raden Qosim Lamongan Pada Prodi Ekonomi Syari’ah,
Lulusan Pascasarjana UNIPDU Jombang Prodi Menejemen Pendidikan Islam (MPI).
[2] Muhammad Shahrur, al-Kitab wa
al-Qur an Qira’ah al-Mu’ashirah ( Kairo : Sina Publisher, 1992),
Halaman Ahir.
[3] Muhammad In’am Esha, Konstruksi
Historis Metodologis Pemikiran Shahrur” dalam Bulletin al Huda Vol 2.
No (Bandung: al-Huda Press, 2001), 130
[5] Muhammad Shahrur, Nahw Usul Jadidah li
al-Fiqh al-Islami (Suriah: al-Ahali Press, 2000), 171 - 174.
[20] Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqad
fi Ushul Al-Syari’ah, Vol II,(bairut, Dar al-Ma’rifah) 69-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar