Oleh
:
Abd.Hadi.SH.,
MH [1]
A.
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menunjung tinggi hak asasi menusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu
hak-hak dan martabat kemanusiaan harus
benar-benar diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
demi terciptanya tata kehidupan
yang aman, tertib, dan sejahtera tanpa
ada diskriminasi kepada seluruh masyarakat.
Tetapi dalam kenyataanya hal itu belum
sepenuhnya terwujud, terbukti
dengan masih banyak terjadinya kekerasan, terutama kekerasan terhadap
perempuan, yang lebih ironis lagi hal itu
sebagian besar jutru terjadi
dalam lingkup rumah tangga
mereka sendiri. Harus disadari
bahwa perbuatan tersebut
adalah pelanggaran hukum oleh karenanya harus dilawan
dan dihapuskan.
Kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan
khususnya yang tejadi dalam rumah tangga, pada kenyataanya dilakukan
dihampir semua lapisan masyarakat
tanpa membedakan tingkat pendidikan,
strata ekonomi, maupun latar
belakang pendidikan, bahkan para
pelaku kekerasan tersebut yang kebanyan
adalah suami, mantan suami, orang
tua, anak, dan majikan merupakan orang-orang
yang sangat dekat dengan korban
dan seharusnya melindunginya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga atau masih dalam istilah
lain disebut domestic violence sudah menjadi fenomena sosial yang melanda sebgaian besar
masyarakat, bahkan hal itu sudah terjadi
secara iniversal diseluruh
belahan dunia. Mengenai
kenyataan tersebut Aziz Hoesien,
mengatakan : Kekerasan terhadap
perempuan bukanlah masalah yang terjadi di Indonesia saja, tetapi juga menjadi
masalah perempuan di seluruh
dunia. Untuk itu msalah kekerasan
terhadap perempuan merpakan salah satu
dari 12 Critical area of concern
hasil pertemuan kongres perempuan
sedunia ke 4 di Beijing tahun 1995.
Padahal sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Menghendaki adanya keserasian d an kerukunan dalam rumah tangga. Mengenai hal ini
sebagaimana yang terdapat dalam
penjelasan atas Undang-undang No
23 tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga : “Keutuhan dan kerukunan
rumah tangga yang bahagia, aman,
tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia
adalah negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa dijamin oleh Psal 29 Undang- undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun
1945, dengan demikian setiap orang dalam lingkup rumah
tangga dalam melaksanakan hak dan
kewajiban harus didasari oleh agama. Hal
ini perlu terus ditumbuhkan kembangkan
dalam rangka membangun
keutuhan rumah tangga”.
Mengatakan hal
itu, Muthia Farida Hatta Mengutarakan Pendapatnya bahwa
“Permsalahan kekerasan Terhadap
Perempuan (KTP) terlebih
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
adalah pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM)
dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, artinya, ia tidak bisa
didiamkan namun harus dilawan dan dihapuskan. Karena tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dari waktu ke waktu tidak semakin
berkurang tetapi justru semakin
meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Perkembangan yang
demikian tentu sangat meresahkan
dan menimbulkan kekhwatiran kepada semua pihak, sebab hal itu dapat
menimbulkan gangguan ketertiban dan keaamanan dalam masyarakat.
B.
PERMASALAHAN
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) akhir-akhir ini memang perlu dipikirkan kemudian dicarikan pemecahannya.
Pada umumnya, KDRT dipicu oleh berbagai factor, antara lain adalah faktor Ekonomi, gender, lingkungan, relasi kuasa
yang timpang, dan role modeling (perilaku meniru-niru) misalnya media masa terutama Televisi yang banyak
menayangkan hal-hal yang berbau kekerasan sehingga timbul kecenderungan untuk
meniru sehingga meningkatkan kesadaran hokum masyarakat khususnya pada kaum
wanita.
Penyebab
paling besar tejadinya KDRT adalah fakta bahwa lelaki dan perempuan kekuasaannya
tidak sama didalam masyarakat. Suaami
menganggap bahwa perempuan yang menjadi istri adalah sah milik mereka lewat
perkawinan, sehingga mereka boleh berbuat apa saja terhadap perempuan yang menjadi istrinya itu, tanpa
seorangpun yang berhak melarang kondisi.ini
semakin ironis dimana banyak pihak yang tidak mau melaporkan perilaku kekerasan
yang dilakukan suaminya.
Dalam
kenyatannya, suami melakukan KDRT, karena kesalahan atas dasar standar nilai suami. KDRT, juga terjadi pada pasangan
yang saling mencintai, suami dalam kondisi normal, pasangan ekonomi kuat, suami
bukan pemabuk bahkan sukses dalam kariernya, suami yang sopan santun orang,
juga menjadi persoalan manusia, dilakukan dengan kesadaran, dan sering dilakukan dengan alasan diperbulehkan
agama.
C. PEMBAHASAN
Kekerasan dalam rumah tangga hal ini dimaksudkan, untuk mendapatkan permainan yang benar mengenai topik pembicaraan serta untuk menghindari timbulnya kerancuan pda pembahasan
berikutnya. Untuk dapat mengerti isitlah kekerasan dalam rumgah tangga
maka terlebih dahulu perlu dibahas
mengenai pengertian dari kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri.
Berbicara
mengenai pengertian kekerasan
ternyata sampai saat ini belum terdapat
kesamaan pendapat dari para ahli,
hal ini disebabkan masing-masing orang mempunyai sudut
pandang yang berbeda dalam masalah ini, yang sama dipengaruhi
oleh lingkungan dan budaya
dimana mereka berasal dan bertempat tinggal. Mengenai hal itu, dalam
makalahnya yang berjudul Pembktian
dan pentalaksanaan Kekersan Terhadap Perempuan Tinjauan
Klinis dan Forensik, Budi
Sampurna, mengatakan :
Definisi kekerasan
ternyata belum mencapai kesepakatan. Pengertian kekerasan
berbeda dari satu individu
ke Individu lain, dari
suatu negara ke negara lain dan
dari budaya yang satu
ke budaya yang lain. Kekerasan dalam bentuk verbal dan emosional tidak dianggap kekerasan
pada beberapa budaya atau negera.
Demikian pula kekerasan fisik pada tingkat tertentu. Terutama terhadap
hubungan pelaku-korban tertentu, juga dianggap bukan kekerasan pada budaya dan
negri tertentu. [2]
Dengan demikian dapat diketahui bahwa asal daerah atau
tempat tenggal latar belakang budaya
masyarakat sangat menentukan dalam
menentukan sudut pandang dan
penilaian terhadap apa yang disabut dengan kekerasan. Sejalan dengan pendapat
diatas, Harkrisnowo mengatakan dalam makalahnya
berjudul Hukum Pidana Dan
Kekerasan Terhadap perempuan dengan mengutip pendapat Michael
Levi bahwa “tindak kekerasan, atau violenca”,
pada dasarnya merupakan suatu konsep yang
makna dan isinya sangat
bergantung kepada masyarakat sendiri-sendiri dengan tidak adanya
kesamaan persepsi tentang
definisi terhaap istilah kekerasan, maka terdapat
beberapa pengertian yang
muncul dan berkembang meskipun demikian dari
peredaan-perbedaan tersebut pada
prinsipnya terdapat kesamaan, yaitu bahwa perbuatan yang dimaksud tersebut menimbulkan
kerugian dan penderitaan pada orang lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Jerome skolnick, bahwa
tindak keekrasan merupakan an ambiguous term whose meaning is established thorough political proses.[3]
Dalam berbagai
ligteriature terdapat penggunaan
istilah kekerasan, dengan isitlah viclence, assult dan Batter.
Pengertian violence dapat diartikan sebagai :
1.
Ketidak
adilan atau ketidak inginan kekuatan
dengan disertai kebiadaban / kekejaman dari kemarahan berapi-rapi.
2.
Kekuatan fisik yang dilatih dari
ketidaksahan hukum, penyalahgunaan kekutan, kekuatan tersebut
digunakan untuk menentang keadaan
biasa melawan hukum, dan menentang
kebebasan publik/masyarakat.
3.
Penggunaan dari sebuah
penyaluran, pengarusakan, atau penyalahgunaan.
Pengertian Assault adalah (
Black’s Law Dictionary):
“Any willful
attempt or theat to Infict upon
the person of another…”
“Any intentional
display of forse such as woul give the victim reason to fear or expect immediate bodily harm”
An assault may be commited wihout acrually touching, or
strinking, or doing bodily harm, to
the person another “[4]
Pengertian Batttery (
Black’s Law Dictionary ) adalah :
“Criminal Battery defined as the
unlawful application of force to
the person oranotrhe, may be divided into its there basic elements:
1.
The
defendant’s conduct ( act or omisior);
2.
His “ mental state “ Which may be intent to kill or injure, or criminal
negligence ,or perhaps the doing oif an unlawful act:
3.
The harmfull result to the victim,which may be a
bodily injury or an offensive touching”.
Berdasarkan uraian
di atas dapat ditarik sebuah kesimpulkan bahwa “kekerasan dapat diartikan
sebagai suatu bentuk tindakan yang
dilakukan terhadap pihak lain yang si
pelakunya perseorangan/lebih dari
seorang yang dapat mengakibatkan
penderitaan pada pihak lain”.
Sedangkan
pengertian dari rumah tangga
adanya suatu yang mengikat
anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus lagi kuat
atau dapat pula dikatakan rumah
tangga house hold adalah kelompok sosial
yang biasanya berpusat pada suatu
keluarga batin, ditambah dengan
beberapa. Keluarga yang lain, yang
tinggal dan hidup bersama dalam satu rumah sehingga merupakan kesatuan kedalam dan keluar.
Berdasarkan
pengertian istilah kekerasan dan
keluarga di atas dapat dirumuskan mengenai pengertian kekerasan dalam rumah
tanggal. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan dalam bukunya yang berjudul
Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan) memberikan pengertian
kekerasan dalam rumah tangga sebagai “sebagai bentuk perilaku yang dilakukan
oleh unsur (anggota) keluarga terhadap
unsur (anggota) keluarga yang lain, yang
memunculkan perasaan tidak nyaman dan bahkan rasa takut, sedangkan
menurut Budi Sempurna, yang mengutip pendapat dari Kyriacou, mengatakan, bahwa
kekerasan dalam rumah tangga (keluarga) didefinisikan sebagai “Pola
Perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan ancaman atau
menciderai secara fisik yang
dilakukan oleh padangannya atau mantan
pasangannya” atau secara lebih luas
dapat disebutkan seabgai penalahgunaan
kekerasan atau kekuasaan oleh salah satu anggota kelaurga
kepada anggota keluarga yang lain, yang melanggar hak individu/perdata.
Uraian diatas pada dasarnya sudah cukup untuk
mendefinisikan istilah kekerasan dalam rumah
tangga, namun untuk dapat menentukan pengertian terhadap istilah dalarn hukum pidana, maka tidak boleh
terlepas darl ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan
dengan topik pernbicaraan dalarn penulisan ini, maka. definisi kekerasan dalarn
rumah tangga harus mengacu pada UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pasal 1 ayat (1)
menyebutkan :
Kekerasan dalarn rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap sesecrang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sedangkan yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga,
terdapat dalarn Pasal 2 yang berbunyi :
Ayat (1) : Lingkup rumah tangga dalarn Undang-Undang ini
meliputi:
a. Suami, istri ,dan anak;
b.
Orang-orang
yang mempunyai hubungan ketuarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan/atau;
c.
Orang
yang bekeria membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Ayat (2) : Orang yang bekerja
sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka
waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Dengan
demikian termonologi kekerasan dalam rumah tangga mempunyai ciri bahwa tindakan
tersebut :
a.
Dapat
berupa fisik, seksual, maupun non-fisik (psikis)
b.
Dapat
dilakukan secara Aktif maupun dengan cara pasif (tidak, berbuat),
c.
Dikehendaki/diniati
oleh pelaku,
d.
Ada
akibat atau kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik, seksual, atau
psikis) yang tidak dikehendaki korban.
Bentuk-Bentuk Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
E
Kristi Poorwandari, dalam makalahnya berjudul Kekerasan Terhadap Perempuan : Tinjauan Feministik, mengatakan bahwa semua
bentuk kekerasan, siapapun pelaku dan korbannya dapat dikelompokkan dalam
penggolongan besar, antara lain sebagai berikut :
1.
Kekerasan
dalam area domestik/hubungan intim personal berbagai bentuk kekerasan yang
pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga.
2.
Hubungan
kedekatan lain. Termasuk disini penganiayaan terhadap istri, penganiayaan
terhadap pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan, anak tiri,
penganiayaan terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota
keluarga.
3.
Kekerasan
dalam area publik : berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan
keluarga atau hubungan personal lain. Dapat dimaksudkan disini, berbagai bentuk
kekerasan yang sangat luas cakupannya, baik yang terjadi di tempat kerja (dalam
semua tempat kerja termasuk untuk kerja-keria domestik, misalnya baby sister,
pernbantu rumah tanggga, perawat orang sakit), di tempat umum (bus dan
kendaraan umum, di pasar, restoran, tempat-tempat umum lain; di lembaga-lembaga
pendidikan; dalam bentuk publikasi atau produk dan pratik ekonomis yang meluas
distribusinya (misalnya pornografi, perdagangan perempuan, pelacuran paksa,
d1l) maupun bentuk lain.
4.
Kekerasan
yang dilakukan oleh/dalam lingkup negara : kekerasan secara fisik, seksual
dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, atau didiamkan/dibiarkan
terjadi oleh negara dimana pun terjadinya. Dalam bagian ini termasuk
pelanggaran-pelanggaran hak asasi perempuan dalam pertentangan antar kelornpok,
dalam situasi konflik bersenjata, berkait dengan
antara lain pembunuhan, perkosaan (sisternatis), perbudakan seksual dan
kehamilan paksa.
Terhadap
fenornena tersebut Abdul Wahid dan Muhammad Irfan mengatakan bahwa kekerasan
yang terjadi dalam area domestik itu dapat terjadi
dengan bentuk-bertuk sebagai berikut
1. Kekerasan
fisik misalnya menampar, memukul, menendang, menjambak, membekap, melukai,dll.
2. Kekerasan
psikologis, misalnya menghina, meremehkan, berbicara kasar, memaki,
mengancam/memaksa sebagai sarana.
3. Kekerasan
seksual, misalnya memaksa unsur anggota keluarga lain (perempuan) tintuk
melakukan hubungan seksual.
Sedangkan
menurut E. Kristi Poerwandari
dalam buku Pemahaman
Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap “Perempuan dan Alternatif Pemecahannya
ciptaan Achie Sudiarti Luhulima dengan rumusan yang hampir sama dengan pendapat
diatas membagi bentuk-bentuk kekerasan dalarn rumah tangga menjadi 5 (lima)
bentuk, yaitu antara lain meliputi :
Fisik : Memukul, menampar, meneekiki, menenclang,
melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau
alat/ senjata, membunuh.
Psikologis : Berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur,
melecehkan, menguntit, dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang
menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat
korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dll).
Seksual : Melakukan tindakan yang mengarah pada ke ajakan/desakan seksual
seperti meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak
dikehndaki korban, memaksa korban menonton produk pornografl, gurauan-gurauan
seksual yang tidak dikehendaki korban,
Ucapan-ucapan yang merenclahkan
clan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa
berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak,
memaksa rnelakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan,
atau melukai korban.
Finansial : Mengambil uang korban, menahan atau tidak mernberikan pernenuhan
kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai
sekecil-kecilnya, semua dengan maksud untuk dapat mengendalikan korban.
Spiritual : Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban
mempratikkan ritual dan keyakinan tertentu
Diatas
sudah diuraikan panjang lebar mengenai bentuk-bentuk dari kekerasan dalam rumah
tangga, namun untuk dapat mengambil kesimpulan tentu harus tetap mengacu dan
berlandaskan pada ketentuan hukum yang mengaturriya, yaitu UU No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rurnah
Tangga, terkait dengan topik pembicaraan pada sub bab ini mengenai
bentuk-bentuk kekerasan daldm rurnah tangga, disebutkan dalam Pasal 5 yang
berbunyi : Setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis,
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran dalam rumah tangga.
Dengan
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diatas, maka secara garis besar kekerasan dalam rumah
tangga dapat digolongkan menjadi 4 (empat) bentuk, antara lain sebagai berikut
:
1.
Kekerasan
Fisik
Kekerasan dalam kategori ini merupakan bentuk kekerasan
dalam rumah tangga yang sering terjadi terhadap perempuan (istri) dan
anak-anak, dimana pelaku biasanya suami (bapak). Pasal 6 LJU No.23 Tahun 2004
Tentang Penghapuasan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, rnenyebutkan :
"Kekerasan, fisik sebagairnana dimaksud dalam pasal
5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat."
Berkaitan dengan hal itu, untuk melakukan tindakan dalam
pengamatan terhadap korban kekerasan
fisik, Budi Sampurna mengklasifikasikan
perlukaan yang terjadi akibat kekerasan fisik, Budi Sampurna
mengklasifikasikan perlukaan yang terjadi akibat kekerasan secara fisik sebagai
berikut :
a.
Perlukaan
atau cedera pada kulit dan jaringan bawah
kulit:
Beberapa bentuk yang dikaitkan deagan adanya penganiayaan
adalah :
1. Memar akibat tamparan yang kuat dengan
meninggalkan bekas telapak jaringan,
2. Memar
yang membentuk gambaran jari dan ibu jari sering tampak pada muka, lengan atas
atau pantat.
3. Memar
yang berbentuk garis, lengkungan atau lingkaran benda-benda tumpul seperti ikat
pinggang, kabel, kain pembekap mulut dan sebagainya.
4. Bekas
gigitan mantisia yang berbentuk bulan sabit. Gigitan manusia dapat dibedakan
denpn gigitan binatang (pemakan dengan gigi yang tajam atau runcing), yaitu bahwa
gigitin manusia hanya menyebabkan perickanan pada daging, sedangkan gigitan
binatang akan merobek daging yang menyebabkan mernar.
5.
Luka
bakar yang berbentuk khas sebagai akibat dari sundutan rokok atau setrika.,
atau luka bakar akibat cairan panas yang terletak pada fokasi yang janggal.
Luka bakar memang scring terjadi pada masa anak-anak, baik karena kecelakaan
maupun karena kesengajaan. Namun pada usia dewasa Kecelakaan menjadi
semakin jarang. Kekerasan termis (akibat suhu tinggi) dapat
disebabkan oleh api yang
terbuka,benada padat yang panas atau
benda cait yang panas. Sundutan api rokok pada
tangan, kaki dan pantat merupakan bentuk yang cukup sering dijumpai,
luka bakar dapat juga membentuk gambaran
benda padat (alat rumah tangga) yang panas
seperti bekas setrika di punggung.
b.
Perlukaan dan cedera
di daerah wajah
Perlukaan di
daerah wajah dapat meliputi mata,
telinga, hidung, dan mulut :
1.
Mata
adalah organ yang sensitife, bila seseorang
mendapat pukulan di daerah rongga mata
harus di cari kemungkinan perdarahan
dalam rongga bola mata.
2.
Hidung yang mengalami pukulan langsung akan menimbulkan pergeseran sekat hidung atau patahnya
tulang rawan. Tanda yang mudah
tampak adalah pengeluaran darah dari rongga hidung (mimisan).
3.
Mulut adalah yang mendapat pukulan langsung
dapat menimbulkan lepasnya gigi. Bahkan patah tulang rahang
bawah elinga sering mendapatkan
jeweran yang bila berlebihan akan menimbulkan memar.pukulan
tunggal yang keras pada telinga
akan menyebabkan robekan gendang telinga dan pendarahan. Adanya pendarahan dibelakang gendang telinga atau bercak
pendarahan pada tulang mastoed dapat menunjukkan adanya patah
pada dasar tulang tengkorak.
c. Perlukaan
dan cedera pada kepala dan susunan saraf
pusat menjambak rambut hingga suatu
daerah rambut tercabut merupakan hal
yang umum dalam penganiayaan, hal
ini tampak pada beberapa daerah yang rambutnya sangat p endek hingga kulit kepala
dapat mengakibatkan tumpul dengan itensitas tinggi pada kepala dapat mengakibatkan
gangguan pada susunan saraf pusat,
seperti gegar otak, pendarahan di
dalam rongga kepala, memar jaringan
otak, dll. Gejala yang timbul dapat
berupa kehilangan kesadaran,
kehilangan ingatan pusing sakit kepala, mual muntah, dll. Pada keadaan yang agak lanjut dapat
disertai dengan kelumpuhan.
d. Perlukaan dan cedera
pada dada dan perut
Kekerasan tumpul
pada dada dapat menimbulkan patahnya
tulang rusuk, yang dapat menimbulkan
komplikasi pendarahan dalam rongga dada dan masuknya udara ke dalam rongga dada atau ke
jaringan bawah kulit.Tanda yang mudah tampak adalah kelainan bentuk dada serta
ke susuahan gerak atau kesulitan
bernafas.
Kekerasan
tumpul pada perut dapat menyebabkan
robekan pada organ
dalam>Tanda dari kekerasan
tumpul ini umumnya tidak khas.
Seperti memar atau lecet yang tak
bermakna pada kulit, tetapi mungkin
disertai dengan kerusakan
alat dalam perut, adanya
kerusakan alat dalam perut ditandai menurunya bising usus,
muntah-muntah, nyeri pada perut s hok dan
sebagainya.
e. Perlukan dan lecetan pada tulang
Gejala yang tampak
pada kekerasan ini adalah deformasi (patah tulang atau cerai send ) rasa sakit dan bengkak, kelumpuhan serta kesulitan bergerak .Hal ini dapat
terjadi akibat keserlakaan atau kesengajaan. Bila anggota gerak I lengan/tungkai) perempuan
dengan paksa ditarik aau di tekan dapat mengakibatkan terlepasnya
sendi. Gejala kekerasan pada tulang tampak lebih jelas pada pemeriksaan radiologi/foto rontogen yang mengambarkan tanda tanda kecerdasan yang lama danbaru sekaligus menunjukkan bahwa perempuan tersebut sering mendapat kekerasan tumpul.
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kekerasan fisik yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, dapat terjadi
dengan segala macam tindakan yang
mengakibatkan penderitaan, rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat pada anggota tubuh dari korbannya.
2.
Kekerasan
Psikis
Mengenai bentuk kekerasan ini, pasal 7 UU NO 23 Tahun 2004 tentang penghapusan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Bentuk
kekerasan yang termasuk dalam
katagori ini meskipun tidak
menimbulkan luka yang nyata secara fisik
pada tubuh dari korbannya , sesungguhnya
dapat menimbulkan dampak langsung secara fisik, maka kekerasan ini sulit
didefinisikan, berkaitan dengan hal
tersebut Budi Sampurna mengatakan “bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi
pengertiannya karena sensivitas emosi seseorang
sangat bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih
sayang pada isteri agar terpenuhi kebutuhan emosinya lebih lanjut dapat
diaktakan “Ke dalam kekerasan psikologis
atau mental in dapat dimasukkan semua jenis tindakan yang bersifat
verbal abose, pelecehan, sikap memiliki yang berlebihan, isolasi, ancaman atau
berbagai bentuk lain.”
3.
Kekerasan
Seksual
Kekerasan
seksual merupakan sebuah bentuk
pelanggaran seksual yang dampaknya sangat
besar terhadap korban, apalagi
kalau hal itu dilakuan dalam lingkup
rumah tangga, karena antara pelaku
dan korban sudah saling kenal dan ada kemungkinan untuk selalu berinteraksi setiap saat.
Mengenai
definisi kekerasan seksual yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga ini,
Pasal 8 UU NO 23 tahun 2004 Tentang
penghapusan Kekerasan dalam Rumah
tangga, menyebutkan :
Kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf c meliputi :
a. Pemaksaan hubungan sexsual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan
hubungan sekxual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya denga orang lain untuk tujuan omersial dan /atau tujuan tertentu.
Berdasarkan ketentuan diatas maka tolak ukur untuk dapat menyebut sebuah perbuatan sebagai kekerasan, seksual adalah apabila terdapat unsur pemaksaan dari
pelaku terhadap korbannya. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan seksual ini dilakukan tanpa paksaan, melainkan dengan rayuan
atau karena iming-iming sesuatu. Tetapi secara kasus yang sering terjadi adalah dilakukan dengan unsur
paksaan. Berkaitan dengan
itu Budi Sampuna menjelaskan:
Pelanggaran
seksual tanpa unsur
pemaksaan dilakukan dengan bujukan pada anak-anak, yang terjadi karena
keterbatasan pengalaman dan
penaralannya belum dapat
memberikan keputusan atau
persetujuan secara sempurna, sehingga dianggap persetujuan
yang sah .kemungkinan terjadinya tindakan ini telah lama disadari oleh para ahli hukum
sehingga delik-deliknya telah lama diatur dalam kitab undang-undang hukum
pidana. Seorang anak yang berusia belum cukup 15 th dianggap belum dapat
memberikan persetujuan sehingga dijadikan delik biasa. KUHP juga
mengancam perbuatan seksual yang dilakukan
oleh sesama jenis yang dilakukan dengan paksa atau melibatkan
anak dibawah umur, namun, pada
perempuan dewasa yang belum terikat perkawinan, melakukan perbuatan seksual
tanpa paksaan seorang laki-laki, tidak mengakibatkan ancaman pidana bagi
laki-laki.
Untuk
melengkapi pembahasan mengenai kekerasan seksual ini, akan penulis kemukakan pendapat dari Groth dan Bimbaum, yang
mengemukakan mengani identifikasi terhadap
jenis kekerasan seksual :
1.
Anger rape, dalam hal ini
serangan seksual menjadi sarana menyalurkan kemarahan atau keberangan yang
melibatkan serangan fisik yang berlebihan terhadap korban .
2.
Power Rape : terjadi apabila pelaku ingin menunjukkan dominasinya
terhadap korban.
3.
Sadistic rape :
apabila pelaku mengkonsumsikan
seksualitas dan agresi yang
ditunjukkan pada psikotik untuk menyiksa atau menyakiti korban
4.
Penelantaran
Rumah Tangga
Mengenai bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
terakhir ini, Pasal 9 UU No 23 tahun 2004 Penghapusan
Kekesaran Dalam Rumah Tangga
menyebutkan :
Ayat (1) :
Setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya. Padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan. Perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Ayat (2) : Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1)
juga berlaku bagi setiap orang
yang menagkibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada dibawah kendali orang tersebut.
Penelantaran
dalam rumah tangga sebagaimana yang
tersebut diatas sangat berkaitan dengan permasalahan ekonomi. Sebab yang mendasari terjadinya kekerasan adalah faktor ekonomi. Tentang hal ini Budi
sampurna mengatakan :
“Penelantaran rumah tangga adalah kelalainan dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki
ketergantunan kepda pihak lain Khususnya dalam lingkungan rumah tangga
.Kurangnya menyediaakan sarana dan prawatan kesehatan . Pemebrian makanan , pakai dan perumahan yang sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran .Namun harus hati-hati untuk membedakan antara ketidak mampuan
ekonomi dengan penelantaran yang
disengaja Bentuk kekerasan jenis ini
menonjol. Khususnya terhadap anak karena anak belum mampu mengurus dirinya sendiri.”
Dengan demikian, seorang laki-laki (suami) yang
tidak mempu memberikan kebutuhan hidup, sandang, pangan papan, dan
sarana- sarana lain, kepada keluarganya tidak dapat begitu saja dikatakan melakukan penelantaran rumah tangga. Selama ia telah berusaha dengansungguh-sungguh
secara msksimal maka ia tidak dapat dikenai tuduhan melakukan penelantaran
rumah tangga . Sebaliknya bagi seorang
suami yang sebenarnya memunyai
kemampuan secara ekonomi untuk menghidupi keluarganya. Tetapi karana kelalaiannya sehingga mengabaikan
kewajiban nya untuk mencukupi kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
D. PENUTUP
Penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga, khusunya setelah adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalarn Rumah Tangga, nampaknya sudah mulai menuju ke arah
yang lebih baik, dibandingkan sebelum adanya undang-undang ini. Alat penegak
hukum berkewajiban untuk :
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah
tangga;
2. Melindungi korban Kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis
dan sejahtera.
Disamping
aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan, pencegahan KDRT dapat
dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar menurut norma agama terutama
Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G. Nusantara, e.t.al, Penyiksaan Dalam Anarki
Kekuasaan, Cet. I FH UII, 1996.
Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan, Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi
Atas Hak-Hak Asasi Peremuan ), Bandung :
Refika Ditama, 2001.
Abu Umar Basyier
dan Abu Ibrahim, Sutra Ungu : Panduan
Hubungan Intim dalam Perspektif
Islam, Solo : Nikah Media Semara,
2005.
Achie Sudiarta Luhulima,ed. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan
danAlternatif Pemecahannya,
Jakarta kelompok Kerja ; Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, 2000.
Hasan Syadili, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta : Yayasan Kanisius, 1979.
Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normative,
Bayumedia Puiblishing, Malang, 2005
Melly Sri Sulastri
Rifa’i, Garis Besar Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga, Bandung IKIP, 1979.
Moeljatno, Azas-azas
hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1985.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kuanlitatif, Yogyakarta, Rake Sarsin , 2000.
Sahatapy, Kausa
Kejahatan, Fakultas Hukum
Unair, 1979.
--------- Suatu study kasus mengenai Ancaman Pidana Terhadap Pembunuhan Berencana,
Jakarta Rajawali 1982
Tumbu Saraswati, Seminar
Nasional Pelecehan dan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan,
Balai Pertemuan UGM, 1996
Eko Bambang
S., Penegakan
Hukum Target Sosialisasi UU
Penghapusan KDRT, Jurnal Perempuan.c om, 25 April 2005.
Fadma Sustiwi, Kekerasan
Masih Jadi “Hantu Bagi Perempuan,
Kedaulatan rakyat, 8 Maret 2005.
[1] Penulis adalah Dosen Akhwal
al-Syakhsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Qosim (STAIRA) Lamongan
[2] Achie Sudiarti Luhulima,
ed. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindakan
Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Kelompok Kerja
“Convention Watch” Pusat Kajian Wanita Dan Jender Universitas Indonesia,
Jakarta, 2000, hlm. 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar