Laman

Rabu, 15 Maret 2017

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004

Oleh :
Abd.Hadi.SH., MH [1]

A.  PENDAHULUAN
Negara  Republik Indonesia adalah negara  hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945  yang  menunjung tinggi hak asasi menusia serta menjamin segala warga negara bersamaan  kedudukannya di dalam hukum  dan Pemerintah itu  dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu hak-hak dan martabat  kemanusiaan harus benar-benar  diwujudkan  dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara  demi terciptanya  tata kehidupan yang aman, tertib,  dan sejahtera tanpa ada diskriminasi  kepada seluruh  masyarakat.


Tetapi dalam kenyataanya hal itu  belum  sepenuhnya terwujud, terbukti  dengan masih banyak  terjadinya  kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan, yang lebih ironis lagi hal itu  sebagian besar jutru terjadi  dalam lingkup  rumah tangga mereka  sendiri. Harus  disadari  bahwa perbuatan  tersebut adalah  pelanggaran hukum oleh karenanya  harus dilawan  dan dihapuskan.
Kasus-kasus  kekerasan terhadap  perempuan khususnya  yang tejadi  dalam rumah tangga, pada kenyataanya  dilakukan  dihampir semua lapisan  masyarakat tanpa  membedakan tingkat pendidikan, strata ekonomi, maupun  latar belakang  pendidikan, bahkan  para  pelaku  kekerasan tersebut  yang kebanyan  adalah suami, mantan  suami, orang tua, anak, dan majikan  merupakan  orang-orang  yang sangat  dekat dengan  korban  dan seharusnya melindunginya. Sehingga dapat disimpulkan  bahwa tindak kekerasan  dalam rumah tangga atau masih dalam istilah lain  disebut  domestic violence sudah  menjadi fenomena  sosial yang melanda sebgaian besar masyarakat, bahkan  hal itu sudah  terjadi  secara iniversal diseluruh  belahan dunia. Mengenai  kenyataan  tersebut Aziz Hoesien, mengatakan : Kekerasan  terhadap perempuan bukanlah masalah yang terjadi di Indonesia saja, tetapi  juga menjadi  masalah perempuan  di seluruh dunia. Untuk itu msalah  kekerasan terhadap  perempuan merpakan salah satu dari 12 Critical area of concern  hasil pertemuan  kongres perempuan sedunia ke 4  di Beijing tahun 1995.
Padahal  sesuai dengan ketentuan  peraturan perundang-undangan  yang berlaku  di Indonesia.  Menghendaki adanya keserasian d an kerukunan  dalam rumah tangga. Mengenai  hal ini  sebagaimana   yang terdapat  dalam  penjelasan  atas Undang-undang No 23 tahun 2004  Tentang  Penghapusan  Kekerasan dalam Rumah Tangga : “Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang  bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam  rumah tangga. Negara Republik  Indonesia  adalah negara yang  berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Psal 29 Undang- undang Dasar  Negara Republik Indonesia  tahun 1945, dengan demikian setiap orang dalam lingkup  rumah  tangga dalam melaksanakan  hak dan kewajiban  harus didasari oleh agama. Hal ini  perlu terus ditumbuhkan  kembangkan  dalam  rangka  membangun  keutuhan  rumah tangga”.
Mengatakan  hal itu, Muthia Farida  Hatta  Mengutarakan Pendapatnya bahwa “Permsalahan  kekerasan  Terhadap  Perempuan (KTP) terlebih  Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)  adalah  pelanggaran Hak Asasi  manusia (HAM)  dan kejahatan  terhadap kemanusiaan, artinya, ia tidak  bisa didiamkan namun harus  dilawan  dan dihapuskan. Karena  tindak pidana  kekerasan dalam rumah tangga dari waktu ke waktu  tidak semakin  berkurang tetapi justru  semakin meningkat  baik secara  kualitas maupun kuantitas. Perkembangan yang demikian  tentu sangat  meresahkan  dan menimbulkan  kekhwatiran  kepada semua pihak, sebab  hal itu dapat  menimbulkan  gangguan  ketertiban dan keaamanan dalam masyarakat.
B. PERMASALAHAN
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akhir-akhir ini memang perlu dipikirkan kemudian dicarikan pemecahannya. Pada umumnya, KDRT dipicu oleh berbagai factor, antara lain adalah faktor  Ekonomi, gender, lingkungan, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling (perilaku meniru-niru) misalnya media masa terutama Televisi yang banyak menayangkan hal-hal yang berbau kekerasan sehingga timbul kecenderungan untuk meniru sehingga meningkatkan kesadaran hokum masyarakat khususnya pada kaum wanita.
Penyebab paling besar tejadinya KDRT adalah fakta bahwa lelaki dan perempuan kekuasaannya tidak sama didalam  masyarakat. Suaami menganggap bahwa perempuan yang menjadi istri adalah sah milik mereka lewat perkawinan, sehingga mereka boleh berbuat apa saja terhadap perempuan  yang menjadi istrinya itu, tanpa seorangpun  yang berhak melarang kondisi.ini semakin ironis dimana banyak pihak yang tidak mau melaporkan perilaku kekerasan yang dilakukan  suaminya.
Dalam kenyatannya, suami melakukan KDRT, karena kesalahan atas dasar standar  nilai suami. KDRT, juga terjadi pada pasangan yang saling mencintai, suami dalam kondisi normal, pasangan ekonomi kuat, suami bukan pemabuk bahkan sukses dalam kariernya, suami yang sopan santun orang, juga menjadi persoalan manusia, dilakukan dengan kesadaran, dan  sering dilakukan dengan alasan diperbulehkan agama.
           
C. PEMBAHASAN
Kekerasan dalam rumah tangga hal ini dimaksudkan, untuk mendapatkan permainan  yang benar mengenai topik  pembicaraan serta untuk menghindari  timbulnya kerancuan pda pembahasan berikutnya. Untuk dapat  mengerti  isitlah kekerasan dalam rumgah tangga maka  terlebih dahulu  perlu dibahas  mengenai pengertian dari kekerasan dalam rumah  tangga itu sendiri.
Berbicara  mengenai  pengertian kekerasan ternyata sampai saat ini belum terdapat  kesamaan pendapat  dari para ahli, hal ini  disebabkan  masing-masing orang mempunyai sudut pandang  yang berbeda  dalam masalah ini, yang sama  dipengaruhi  oleh lingkungan  dan budaya dimana  mereka berasal dan  bertempat tinggal. Mengenai hal itu, dalam makalahnya yang  berjudul  Pembktian  dan pentalaksanaan Kekersan Terhadap Perempuan  Tinjauan   Klinis dan Forensik,  Budi Sampurna, mengatakan :
Definisi kekerasan  ternyata  belum  mencapai kesepakatan. Pengertian kekerasan berbeda  dari  satu individu  ke  Individu  lain, dari  suatu negara ke negara lain  dan dari budaya  yang  satu  ke budaya  yang lain.  Kekerasan dalam bentuk verbal  dan emosional tidak dianggap  kekerasan  pada beberapa budaya  atau negera. Demikian pula kekerasan  fisik  pada tingkat tertentu. Terutama terhadap hubungan pelaku-korban tertentu, juga dianggap bukan kekerasan pada budaya dan negri tertentu. [2]
Dengan demikian dapat diketahui bahwa asal daerah atau tempat  tenggal latar belakang budaya masyarakat sangat menentukan dalam   menentukan  sudut pandang dan penilaian terhadap apa yang disabut dengan kekerasan. Sejalan dengan pendapat diatas, Harkrisnowo mengatakan dalam makalahnya  berjudul Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap perempuan dengan mengutip pendapat  Michael  Levi  bahwa  “tindak kekerasan, atau  violenca”, pada dasarnya merupakan suatu konsep yang  makna dan isinya sangat  bergantung  kepada  masyarakat sendiri-sendiri dengan  tidak adanya  kesamaan persepsi tentang  definisi  terhaap istilah  kekerasan, maka  terdapat  beberapa pengertian  yang muncul  dan  berkembang meskipun demikian dari peredaan-perbedaan  tersebut pada prinsipnya terdapat kesamaan, yaitu bahwa perbuatan  yang dimaksud tersebut  menimbulkan  kerugian dan  penderitaan  pada orang  lain, sebagaimana  yang dikatakan oleh Jerome skolnick, bahwa tindak keekrasan merupakan  an  ambiguous term whose meaning is  established thorough political proses.[3]
Dalam  berbagai ligteriature terdapat penggunaan  istilah  kekerasan,  dengan isitlah viclence, assult dan Batter.
Pengertian  violence dapat diartikan sebagai :
1.        Ketidak adilan atau ketidak inginan kekuatan  dengan  disertai kebiadaban /  kekejaman dari kemarahan berapi-rapi.
2.        Kekuatan  fisik yang dilatih  dari  ketidaksahan hukum, penyalahgunaan kekutan, kekuatan  tersebut  digunakan untuk  menentang  keadaan  biasa melawan hukum, dan menentang  kebebasan  publik/masyarakat.
3.        Penggunaan  dari sebuah  penyaluran, pengarusakan, atau penyalahgunaan.

Pengertian Assault adalah ( Black’s Law Dictionary):
                   Any willful  attempt  or theat to Infict upon the  person of  another…”
“Any  intentional display of forse such as woul give the victim reason to  fear or expect immediate bodily harm”
An assault may be commited wihout acrually touching, or strinking, or doing bodily harm, to the person another “[4]
Pengertian Batttery ( Black’s Law Dictionary ) adalah :
“Criminal Battery defined as  the  unlawful application of  force to the person oranotrhe, may be divided into its there basic elements:
1.      The  defendant’s conduct ( act or omisior);
2.      His “ mental state “ Which  may be intent to kill or injure, or criminal negligence ,or perhaps the doing oif an unlawful act:
3.      The harmfull result to the victim,which may be a bodily injury or an offensive touching”.
Berdasarkan  uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulkan bahwa “kekerasan dapat diartikan sebagai  suatu bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak  lain yang si pelakunya perseorangan/lebih  dari seorang  yang dapat mengakibatkan penderitaan pada pihak lain”.
Sedangkan  pengertian  dari rumah tangga adanya suatu yang mengikat  anggota-anggota keluarga  dengan  ikatan batin yang halus  lagi kuat  atau dapat pula  dikatakan rumah tangga house hold adalah kelompok sosial  yang biasanya berpusat pada suatu  keluarga batin, ditambah dengan  beberapa. Keluarga yang lain, yang  tinggal dan hidup  bersama  dalam satu rumah sehingga merupakan kesatuan  kedalam dan keluar.
Berdasarkan  pengertian istilah  kekerasan dan keluarga di atas dapat dirumuskan mengenai pengertian kekerasan dalam rumah tanggal. Abdul  Wahid dan Muhammad  Irfan dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan  Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan) memberikan pengertian kekerasan dalam rumah tangga sebagai “sebagai bentuk perilaku yang dilakukan oleh unsur (anggota) keluarga  terhadap unsur (anggota) keluarga yang lain, yang  memunculkan perasaan tidak nyaman dan bahkan rasa takut, sedangkan menurut Budi Sempurna, yang mengutip pendapat dari Kyriacou, mengatakan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga (keluarga) didefinisikan sebagai “Pola Perilaku  yang bersifat menyerang  atau memaksa yang menciptakan ancaman atau menciderai secara fisik  yang dilakukan  oleh padangannya atau mantan pasangannya” atau secara lebih  luas dapat  disebutkan seabgai penalahgunaan kekerasan atau kekuasaan oleh salah satu anggota  kelaurga  kepada anggota  keluarga  yang lain, yang melanggar hak individu/perdata.
Uraian diatas pada dasarnya sudah cukup untuk mendefinisikan istilah kekerasan dalam rumah tangga, namun untuk dapat menentukan pengertian terhadap istilah  dalarn hukum pidana, maka tidak boleh terlepas darl ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan dengan topik pernbicaraan dalarn penulisan ini, maka. definisi kekerasan dalarn rumah tangga harus mengacu pada UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pasal 1 ayat (1)  menyebutkan :
Kekerasan dalarn rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap sesecrang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sedangkan yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga, terdapat dalarn Pasal 2 yang berbunyi :
Ayat (1) : Lingkup rumah tangga dalarn Undang-Undang ini meliputi:
a.    Suami, istri ,dan anak;
b.      Orang-orang yang mempunyai hubungan ketuarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau;
c.       Orang yang bekeria membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Ayat (2)  : Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
            Dengan demikian termonologi kekerasan dalam rumah tangga mempunyai ciri bahwa tindakan tersebut :
a.        Dapat berupa fisik, seksual, maupun non-fisik (psikis)
b.        Dapat dilakukan secara Aktif maupun dengan cara pasif (tidak, berbuat),
c.         Dikehendaki/diniati oleh pelaku,
d.       Ada akibat atau kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik, seksual, atau psikis) yang tidak dikehendaki korban.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
            E Kristi Poorwandari, dalam makalahnya berjudul Kekerasan Terhadap Perempuan : Tinjauan Feministik, mengatakan bahwa semua bentuk kekerasan, siapapun pelaku dan korbannya dapat dikelompokkan dalam penggolongan besar, antara lain sebagai berikut :
1.        Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal berbagai bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga.
2.        Hubungan kedekatan lain. Termasuk disini penganiayaan terhadap istri, penganiayaan terhadap pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan, anak tiri, penganiayaan terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga.
3.        Kekerasan dalam area publik : berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain. Dapat dimaksudkan disini, berbagai bentuk kekerasan yang sangat luas cakupannya, baik yang terjadi di tempat kerja (dalam semua tempat kerja termasuk untuk kerja-keria domestik, misalnya baby sister, pernbantu rumah tanggga, perawat orang sakit), di tempat umum (bus dan kendaraan umum, di pasar, restoran, tempat-tempat umum lain; di lembaga-lembaga pendidikan; dalam bentuk publikasi atau produk dan pratik ekonomis yang meluas distribusinya (misalnya pornografi, perdagangan perempuan, pelacuran paksa, d1l) maupun bentuk lain.
4.        Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup negara : kekerasan secara fisik, seksual dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, atau didiamkan/dibiarkan terjadi oleh negara dimana pun terjadinya. Dalam bagian ini termasuk pelanggaran-pelanggaran hak asasi perempuan dalam pertentangan antar kelornpok, dalam situasi konflik bersenjata, berkait dengan antara lain pembunuhan, perkosaan (sisternatis), perbudakan seksual dan kehamilan paksa.
            Terhadap fenornena tersebut Abdul Wahid dan Muhammad Irfan mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi dalam area domestik itu dapat terjadi  dengan bentuk-bertuk sebagai berikut
1.    Kekerasan fisik misalnya menampar, memukul, menendang, menjambak, membekap, melukai,dll.
2.    Kekerasan psikologis, misalnya menghina, meremehkan, berbicara kasar, memaki, mengancam/memaksa sebagai sarana.
3.    Kekerasan seksual, misalnya memaksa unsur anggota keluarga lain (perempuan) tintuk melakukan hubungan seksual.
            Sedangkan menurut E. Kristi Poerwandari dalam buku Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap “Perempuan dan Alternatif Pemecahannya ciptaan Achie Sudiarti Luhulima dengan rumusan yang hampir sama dengan pendapat diatas membagi bentuk-bentuk kekerasan dalarn rumah tangga menjadi 5 (lima) bentuk, yaitu antara lain meliputi :
Fisik                           : Memukul, menampar, meneekiki, menenclang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/ senjata, membunuh.
Psikologis                 : Berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dll).
Seksual                      : Melakukan tindakan yang mengarah pada ke ajakan/desakan seksual seperti meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehndaki korban, memaksa korban menonton produk pornografl, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban,
                                      Ucapan-ucapan yang merenclahkan clan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa rnelakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, atau melukai korban.
Finansial                   : Mengambil uang korban, menahan atau tidak mernberikan pernenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, semua dengan maksud untuk dapat mengendalikan korban.
Spiritual                    : Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempratikkan ritual dan keyakinan tertentu
            Diatas sudah diuraikan panjang lebar mengenai bentuk-bentuk dari kekerasan dalam rumah tangga, namun untuk dapat mengambil kesimpulan tentu harus tetap mengacu dan berlandaskan pada ketentuan hukum yang mengaturriya, yaitu UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rurnah  Tangga, terkait dengan topik pembicaraan pada sub bab ini mengenai bentuk-bentuk kekerasan daldm rurnah tangga, disebutkan dalam Pasal 5 yang berbunyi :  Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a.  Kekerasan fisik;
b.  Kekerasan psikis,
c.   Kekerasan seksual; atau
d.  Penelantaran dalam rumah tangga.
           
            Dengan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diatas, maka  secara garis besar kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 4 (empat) bentuk, antara lain sebagai berikut :
1.      Kekerasan Fisik
Kekerasan dalam kategori ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi terhadap perempuan (istri) dan anak-anak, dimana pelaku biasanya suami (bapak). Pasal 6 LJU No.23 Tahun 2004 Tentang  Penghapuasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, rnenyebutkan :
"Kekerasan, fisik sebagairnana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat."
Berkaitan dengan hal itu, untuk melakukan tindakan dalam pengamatan terhadap korban kekerasan  fisik, Budi Sampurna mengklasifikasikan  perlukaan yang terjadi akibat kekerasan fisik, Budi Sampurna mengklasifikasikan perlukaan yang terjadi akibat kekerasan secara fisik sebagai berikut :
a.      Perlukaan atau cedera pada kulit dan jaringan bawah  kulit:
Beberapa bentuk yang dikaitkan deagan adanya penganiayaan adalah :
1. Memar akibat tamparan yang kuat dengan meninggalkan bekas telapak jaringan,
2.  Memar yang membentuk gambaran jari dan ibu jari sering tampak pada muka, lengan atas atau pantat.
3.  Memar yang berbentuk garis, lengkungan atau lingkaran benda-benda tumpul seperti ikat pinggang, kabel, kain pembekap mulut dan sebagainya.
4.   Bekas gigitan mantisia yang berbentuk bulan sabit. Gigitan manusia dapat dibedakan denpn gigitan binatang (pemakan dengan gigi yang tajam atau runcing), yaitu bahwa gigitin manusia hanya menyebabkan perickanan pada daging, sedangkan gigitan binatang akan merobek daging yang menyebabkan mernar.
5.      Luka bakar yang berbentuk khas sebagai akibat dari sundutan rokok atau setrika., atau luka bakar akibat cairan panas yang terletak pada fokasi yang janggal. Luka bakar memang scring terjadi pada masa anak-anak, baik karena kecelakaan maupun karena kesengajaan. Namun pada usia dewasa Kecelakaan  menjadi  semakin jarang. Kekerasan termis (akibat suhu tinggi)  dapat  disebabkan oleh  api yang terbuka,benada  padat yang panas atau benda cait yang panas. Sundutan api rokok pada  tangan, kaki dan pantat merupakan bentuk yang cukup sering dijumpai, luka  bakar dapat juga membentuk gambaran benda padat (alat  rumah tangga)  yang panas  seperti bekas setrika di punggung.
b.      Perlukaan  dan cedera  di daerah wajah
Perlukaan  di daerah wajah dapat meliputi  mata, telinga, hidung, dan mulut :
1.      Mata adalah organ yang  sensitife, bila seseorang mendapat  pukulan di daerah rongga mata harus di cari  kemungkinan perdarahan dalam rongga bola mata.
2.      Hidung  yang mengalami   pukulan langsung akan menimbulkan  pergeseran sekat hidung  atau patahnya  tulang rawan. Tanda yang  mudah tampak adalah pengeluaran darah dari rongga hidung (mimisan).
3.      Mulut  adalah yang mendapat pukulan  langsung  dapat  menimbulkan  lepasnya gigi. Bahkan patah tulang  rahang  bawah elinga  sering mendapatkan jeweran  yang bila  berlebihan akan menimbulkan memar.pukulan tunggal yang  keras pada  telinga  akan  menyebabkan robekan  gendang telinga dan pendarahan. Adanya   pendarahan dibelakang gendang telinga  atau bercak  pendarahan pada tulang mastoed dapat menunjukkan  adanya patah  pada dasar tulang tengkorak.
c.   Perlukaan dan cedera  pada kepala dan susunan saraf pusat menjambak  rambut hingga suatu daerah rambut  tercabut  merupakan hal  yang umum dalam penganiayaan,  hal ini tampak  pada beberapa daerah  yang rambutnya  sangat p endek hingga  kulit kepala  dapat mengakibatkan tumpul dengan itensitas  tinggi pada kepala dapat  mengakibatkan  gangguan  pada susunan saraf  pusat,  seperti gegar otak,  pendarahan di dalam  rongga kepala, memar jaringan otak, dll. Gejala  yang timbul dapat berupa  kehilangan kesadaran, kehilangan  ingatan pusing  sakit kepala, mual  muntah, dll. Pada keadaan yang agak  lanjut dapat  disertai  dengan kelumpuhan.
d.   Perlukaan  dan cedera  pada dada  dan perut
Kekerasan  tumpul pada  dada dapat menimbulkan patahnya tulang rusuk, yang dapat  menimbulkan komplikasi   pendarahan  dalam rongga dada dan  masuknya udara ke dalam rongga dada atau ke jaringan bawah kulit.Tanda yang mudah tampak adalah kelainan bentuk dada serta ke susuahan gerak atau  kesulitan bernafas.
Kekerasan  tumpul  pada perut dapat  menyebabkan  robekan  pada organ dalam>Tanda  dari  kekerasan  tumpul  ini umumnya  tidak khas.  Seperti  memar atau lecet  yang tak  bermakna pada kulit,  tetapi  mungkin  disertai dengan kerusakan  alat  dalam perut, adanya kerusakan  alat dalam  perut ditandai menurunya bising usus, muntah-muntah, nyeri pada perut s hok dan  sebagainya.
e.   Perlukan dan lecetan pada tulang
Gejala  yang tampak pada kekerasan ini adalah deformasi (patah tulang atau cerai send ) rasa  sakit dan bengkak, kelumpuhan  serta kesulitan bergerak .Hal ini dapat terjadi  akibat keserlakaan atau  kesengajaan. Bila  anggota gerak I lengan/tungkai) perempuan dengan paksa  ditarik  aau di tekan dapat mengakibatkan terlepasnya sendi. Gejala kekerasan pada tulang tampak lebih jelas  pada pemeriksaan  radiologi/foto rontogen  yang mengambarkan tanda tanda  kecerdasan yang lama danbaru sekaligus  menunjukkan bahwa  perempuan tersebut sering mendapat  kekerasan tumpul.

Dengan demikian dapat  ditarik sebuah  kesimpulan bahwa kekerasan  fisik yang terjadi  dalam lingkup rumah tangga, dapat terjadi dengan segala macam tindakan  yang mengakibatkan  penderitaan, rasa sakit, jatuh sakit, atau luka  berat  pada anggota tubuh dari korbannya.
2.        Kekerasan Psikis
            Mengenai  bentuk kekerasan ini, pasal 7 UU  NO 23 Tahun 2004 tentang penghapusan  psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah  perbuatan yang  mengakibatkan  ketakutan, hilangnnya rasa percaya diri, hilangnya  kemampuan  untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau  penderitaan psikis  berat pada seseorang.”
            Bentuk kekerasan  yang termasuk  dalam  katagori  ini meskipun tidak menimbulkan luka yang nyata  secara fisik pada tubuh dari korbannya , sesungguhnya  dapat menimbulkan dampak langsung secara fisik, maka kekerasan ini sulit didefinisikan, berkaitan  dengan hal tersebut Budi Sampurna mengatakan “bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensivitas emosi seseorang  sangat bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini  dapat berupa tidak diberikannya  suasana kasih  sayang pada isteri agar terpenuhi kebutuhan emosinya lebih  lanjut dapat  diaktakan “Ke dalam kekerasan psikologis  atau mental in dapat dimasukkan semua jenis tindakan yang bersifat verbal abose, pelecehan, sikap memiliki yang berlebihan, isolasi, ancaman atau berbagai bentuk lain.”
3.        Kekerasan Seksual
            Kekerasan seksual  merupakan sebuah bentuk pelanggaran seksual yang dampaknya sangat  besar terhadap  korban, apalagi kalau hal itu dilakuan dalam lingkup  rumah tangga, karena antara pelaku  dan korban  sudah saling  kenal dan ada kemungkinan  untuk selalu berinteraksi setiap saat.
            Mengenai definisi  kekerasan seksual yang  dilakukan dalam lingkup rumah tangga ini, Pasal 8 UU NO 23 tahun 2004 Tentang  penghapusan Kekerasan  dalam Rumah tangga, menyebutkan :
            Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 5 huruf  c meliputi :
a.  Pemaksaan  hubungan sexsual yang dilakukan  terhadap  orang yang menetap dalam  lingkup rumah tangga tersebut.
b.  Pemaksaan hubungan sekxual terhadap salah seorang dalam lingkup  rumah tangganya  denga orang lain untuk  tujuan omersial dan /atau tujuan tertentu.
            Berdasarkan  ketentuan diatas maka tolak ukur untuk  dapat menyebut  sebuah perbuatan sebagai kekerasan, seksual  adalah apabila terdapat unsur pemaksaan dari pelaku terhadap  korbannya. Meskipun  demikian tidak  menutup kemungkinan  bahwa kekerasan  seksual ini dilakukan  tanpa paksaan, melainkan  dengan rayuan  atau karena iming-iming sesuatu. Tetapi secara kasus yang sering  terjadi adalah dilakukan  dengan unsur  paksaan. Berkaitan  dengan itu  Budi Sampuna  menjelaskan:
            Pelanggaran seksual  tanpa  unsur  pemaksaan dilakukan dengan bujukan pada anak-anak, yang terjadi karena keterbatasan  pengalaman  dan  penaralannya belum dapat  memberikan keputusan atau  persetujuan secara sempurna, sehingga dianggap  persetujuan  yang sah .kemungkinan terjadinya tindakan  ini telah lama disadari oleh para ahli hukum sehingga delik-deliknya telah  lama   diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana. Seorang anak yang berusia belum cukup 15 th  dianggap belum  dapat  memberikan persetujuan sehingga dijadikan delik biasa. KUHP juga mengancam perbuatan seksual yang dilakukan   oleh sesama jenis  yang  dilakukan dengan paksa atau  melibatkan  anak dibawah umur,  namun, pada perempuan dewasa yang belum terikat perkawinan, melakukan perbuatan  seksual  tanpa paksaan seorang laki-laki, tidak mengakibatkan ancaman pidana bagi laki-laki.
            Untuk melengkapi pembahasan mengenai kekerasan seksual ini, akan  penulis kemukakan  pendapat dari Groth dan Bimbaum, yang mengemukakan mengani identifikasi terhadap  jenis kekerasan seksual :
1.        Anger rape,  dalam hal ini serangan seksual menjadi sarana menyalurkan kemarahan atau keberangan yang melibatkan  serangan fisik  yang berlebihan terhadap korban .
2.        Power Rape : terjadi apabila pelaku ingin menunjukkan dominasinya terhadap korban.
3.        Sadistic  rape : apabila  pelaku mengkonsumsikan seksualitas dan agresi  yang ditunjukkan  pada psikotik  untuk  menyiksa atau menyakiti korban
4.        Penelantaran Rumah Tangga
            Mengenai  bentuk kekerasan  dalam rumah tangga  yang  terakhir ini, Pasal 9 UU No 23 tahun 2004  Penghapusan  Kekesaran  Dalam Rumah Tangga menyebutkan :
Ayat (1)          :   Setiap orang dilarang  menelantarkan orang dalam  lingkup rumah tangganya.  Padahal menurut  hukum yang  berlaku baginya atau karena  persetujuan  atau perjanjian  ia wajib  memberikan kehidupan.  Perawatan, atau  pemeliharaan kepada orang tersebut.
 Ayat (2)         :   Penelantaran sebagaimana dimaksud  ayat (1)  juga berlaku  bagi setiap orang yang menagkibatkan ketergantungan  ekonomi  dengan cara  membatasi dan/atau  melarang untuk bekerja  yang layak di dalam atau di luar  rumah sehingga  korban  berada dibawah  kendali  orang tersebut.
                              Penelantaran dalam rumah tangga sebagaimana yang   tersebut  diatas sangat  berkaitan dengan permasalahan  ekonomi. Sebab yang mendasari  terjadinya kekerasan  adalah faktor ekonomi. Tentang hal ini Budi sampurna mengatakan :
“Penelantaran rumah tangga  adalah kelalainan dalam memberikan  kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantunan kepda pihak lain Khususnya dalam lingkungan rumah tangga .Kurangnya  menyediaakan sarana dan  prawatan kesehatan . Pemebrian  makanan , pakai  dan perumahan yang sesuai  merupakan faktor  utama dalam menentukan adanya  penelantaran .Namun harus hati-hati  untuk membedakan antara ketidak mampuan ekonomi  dengan penelantaran yang disengaja Bentuk  kekerasan jenis ini menonjol. Khususnya terhadap anak karena anak belum mampu mengurus dirinya sendiri.
Dengan  demikian, seorang laki-laki (suami) yang tidak  mempu memberikan  kebutuhan hidup, sandang, pangan papan, dan sarana- sarana lain, kepada keluarganya tidak dapat begitu  saja dikatakan melakukan  penelantaran rumah tangga. Selama  ia telah berusaha dengansungguh-sungguh secara msksimal maka ia tidak dapat dikenai tuduhan melakukan penelantaran rumah tangga . Sebaliknya bagi seorang  suami  yang sebenarnya memunyai kemampuan secara ekonomi untuk menghidupi keluarganya. Tetapi  karana kelalaiannya sehingga mengabaikan kewajiban nya untuk mencukupi kebutuhan hidup dalam rumah tangga.

D.  PENUTUP
      Penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, khusunya setelah adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalarn Rumah Tangga, nampaknya sudah mulai menuju ke arah yang lebih baik, dibandingkan sebelum adanya undang-undang ini. Alat penegak hukum berkewajiban untuk :
1.      Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2.      Melindungi korban Kekerasan dalam rumah tangga
3.      Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
4.      Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Disamping aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan, pencegahan KDRT dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar menurut norma agama terutama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia





DAFTAR  PUSTAKA


Abdul Hakim G. Nusantara, e.t.al,  Penyiksaan Dalam Anarki Kekuasaan,  Cet. I FH UII, 1996.
 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap  Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak-Hak Asasi Peremuan ), Bandung  : Refika Ditama, 2001.
Abu Umar  Basyier dan Abu Ibrahim, Sutra  Ungu : Panduan  Hubungan Intim  dalam Perspektif Islam, Solo : Nikah  Media Semara, 2005.
Achie Sudiarta Luhulima,ed. Pemahaman Bentuk-Bentuk  Tindak Kekerasan Terhadap  Perempuan  danAlternatif  Pemecahannya, Jakarta kelompok Kerja ; Convention Watch Pusat Kajian Wanita  dan Jender Universitas  Indonesia, 2000.
Hasan Syadili, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta  : Yayasan Kanisius, 1979.
Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normative, Bayumedia Puiblishing, Malang, 2005
Melly Sri Sulastri  Rifa’i, Garis  Besar Pendidikan  Kesejahteraan  Keluarga, Bandung IKIP, 1979.
Moeljatno, Azas-azas hukum  Pidana, Jakarta, Bina  Aksara, 1985.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian  Kuanlitatif, Yogyakarta, Rake Sarsin , 2000.
Sahatapy, Kausa Kejahatan,  Fakultas  Hukum  Unair, 1979.
--------- Suatu  study kasus mengenai  Ancaman Pidana Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta Rajawali 1982
Tumbu Saraswati, Seminar Nasional  Pelecehan dan Kekerasan  Seksual Terhadap  Perempuan, Balai Pertemuan UGM, 1996
Eko  Bambang S.,  Penegakan Hukum Target Sosialisasi  UU  Penghapusan  KDRT, Jurnal  Perempuan.c om, 25 April 2005.
Fadma  Sustiwi, Kekerasan  Masih Jadi  “Hantu Bagi Perempuan, Kedaulatan rakyat, 8 Maret 2005.



[1] Penulis adalah Dosen Akhwal al-Syakhsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Qosim (STAIRA) Lamongan
[2] Achie Sudiarti Luhulima, ed. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita Dan Jender Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 51.
[3] Ibid, hlm. 80
[4] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar