Oleh : Drs.
Sutopo, S.Pd.,M.Pd.I[1]
Abstraksi :
Imam
Ghazali dikenal memiliki pemikiran yang luas dalam berbagai bidang, tidak
terkecuali di bidang ekonomi. Secara garis besar pembahasan ekonomi menurut
Imam dapat
dikelompokkan menjadi : pertukaran dan evolusi pasar, produksi,
barter dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik.
Kata
kunci : Imam
Ghazali, Ekonomi.
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan
catatan sejarah Imam Ghazali
adalah hidup pada fase yang cemerlang, karena meninggalkan warisan
intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawan muslim masa sebelumnya telah
menyusun konsep tentang bagaimana perilaku umat harus sesuai dengan Al-Qur’an
dan Hadits. Demikian juga dalam kegiatan ekonomi tentunya harus sesuai dengan
Al-Qur’an dan Hadits.
Akan
tetapi pada masa Imam Ghazali menghadapi realitas politik yang ditandai dengan
dua hal :
1. Disentegrasi
pusat kekuasaan Bani Abasyiyah dan terbaginya kerajaan ke
dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan
ketimbang kehendak rakyat.
2. Merebaknya
korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral di kalangan
masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar
antara si kaya dan si miskin.[2]
Kondisi seperti ini
barang kali tidak jauh dengan kondisi kita sekarang, maka kita perlu
mempertajam analisa kita bagaimana pemikiran Imam Ghazali khususnya
tentang ekonomi dalam kondisi yang seperti ini, barangkali kita semua dapat
mengambil pelajaran. Disamping itu Imam
Ghazali sering kita kenal sebagai
tokoh tasawuf, maka kita coba untuk
menggali pemikiran-pemikiran beliau tentang ekonomi, kemungkinan besar hal ini
belum banyak dibicarakan.
B. BIOGRAFI IMAM GHAZALI
Nama
lengkap Imam Ghazali adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi
al-Ghazali. Karena ayahnya penjual benang, maka mendapat panggilan Ghazali, yang dalam bahasa arab berarti
“pembuat benang”. Imam Ghazali lahir pada tahun 1058 M di kota
kecil khurasan bernama Toos. Imam Ghazali terkenal di negara barat sebagai
al-Gazel merupakan salah satu pemikir
besar Islam.[3]
Sejak kecil Imam Ghazali hidup dalam
dunia tasawuf, beliau tumbuh dan
berkembang dalam asuhan seorang sufi, disamping ayahnya juga seorang sufi, Imam Ghazali sangat
gandrung akan ilmu pengetahuan, mempunyai kemauan yang sangat besar untuk
belajar, maka tak heran kalau beliau menjadi seorang ilmuwan yang dikenal dan
dihormati. Di masa mudanya, Imam Ghazali
belajar di berbagai negara diantaranya Mesir, Bagdad dan Palestina. [4]
Imam Ghazali mendirikan madrasah bagi para Fuqaha dan Mutashawifin
di kota Toos. Dan Beliau memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan
energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, hinggga meninggal dunia pada
tanggal 14 Jumadil akhir 505 H atau 19 Desember 1111 M.
Imam Ghazali merupakan ilmuwan sekaligus penulis yang sangat produktif.
Berbagai tulisan telah menarik perhatian dunia, baik dari kalangan Muslim
maupun non-Muslim. Para pemikir barat abad pertengahan, seperti Raymond Martin,
Thomas Aquinas dan Pascal diisukan banyak dipengaruhi oleh pemikiran Imam Ghazali.
Banyak karya Imam Ghazali yang diterjemah ke dalam berbagai bahasa, seperti
Latin, Spanyol, Yahudi, Perancis, Jerman dan Inggris serta dijadikan referensi
oleh kurang lebih 44 pemikir Barat.[5]
Imam
Ghazali diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi
berbagai ilmu seperti logika, moral, tafsir, fiqih, ilmu-ilmu Qur’an, tasawuf,
politik, administrasi dan perilaku ekonomi. Namun yang kita kenal sampai
sekarang sekitar 84 buah, diantaranya yang tidak asing lagi bagi kita adalah Ihya’ ulum al-Din.
C. PEMIKIRAN IMAM GHAZALI TENTANG
EKONOMI
Imam
Ghazali dikenal memiliki pemikiran yang luas dalam berbagai bidang, tidak
terkecuali tentang ekonomi. Pemikirannya
dapat ditemukan di beberapa karya beliau diantaranya Ihya’ Ulum al-Din, Al-Mustafa, Mizan al-Amal, Al Tibr al Masbuk fi
Nasihat al Muluk dan lain sebagainya.
Pemikiran
Imam Ghazali tentang ekonomi antara lain meliputi uang, perdagangan, pembagian
tenaga kerja, perilaku konsumsi dan organisasi masyarakat dalam perekonomian.
Disamping itu menurut Imam Ghazali kebutuhan dasar termasuk kebutuhan rumah
tangga yang diperlukan, fornitur, peralatan pernikahan, alat-alat untuk
membesarkan keluarga dan beberapa aset lainnya.
Pembahasan
ekonomi Imam Ghazali mencakup aspek yang sangat luas, namun secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi : pertukaran dan evolusi pasar, produksi, baeter
dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik.[6]
Imam
Ghazali juga memperkaya ekonomi Islam dengan topik pembagian kerja dan teori
evolusi uang. Imam ghazali juga mengecam penimbunan uang di bawah lantai atau
bantal, karena uang diciptakan untuk memfasilitasi perdagangan, sedangkan
penimbunan uang di bawah lantai atau bantal akan mengeluarkan uang dari proses
ini.[7]
Sebagai
seorang sufi, Imam Ghazali banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam
memberikan pandangan-pandangan yang bersifat spiritual dan moral dalam ilmu
ekonomi. Dalam kitab ihya’ Ulumu al-Din
Imam Ghazali telah mendiskusikan kerugian dari sistem barter dan pentingnya
uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai barang dan jasa. Ia mengibaratkan
uang sebagai cermin. Cermin tidak punya warna namun dapat merefleksikan semua
harga. Uang bukanlah komuditas sehingga tidak dapat diperjual belikan.
Memperjual belikan uang ibarat memenjarakan uang, sebab hal ini dapat
mengurangi jumlah uang yang berfungsi sebagai alat tukar. Uang dapat saja
terbuat dari selain emas dan perak, misalnya uang kertas, tetapi pemerintah
wajib menyatakannya sebagai alat pembayaran yang resmi. Imam Ghazali juga
mengatakan bahwa pemalsuan uang sangat berbahaya karena dampaknya yang
berantai, bahkan lebih berbahaya dari pencurian uang.[8]
D. KONSEP UANG
Bicara
tentang uang tentunya bukan sesuatu yang asing bagi kita, karena semua pasti
sudah maklum tentang fungsinya dalam kehidupan ini. Tanpa uang pastilah kita
akan kesulitan untu melakukan jual beli. Hal ini dapat kita buktikan kalau
seandainya tidak ada uang maka kita akan melakukan jual beli dengan cara barter
sebagai mana yang dilaksanakan orang-orang dahulu.
Namun
terkadang kita tidak sadar kalau ternyata
uang memiliki permasalahan tersendiri, yang membuat para pejabat pusing
tujuh keliling. Namun yang mengejutkan, Imam Ghazali sudah membahas agak detail
mengenai permasalahan dan evolusi uang dan berbagai fungsinya. Imam Ghazali
menjelaskan bagaimnana mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran
barter.
Imam
Ghazali juga membahas berbagai akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan
uang, sebuah observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad kemudian
yang dilanjutkan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham dan richard Cantillon.
Dalam
kitab Ihya Ulum al Din, Al Ghazali
mendifinisan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana
untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut
dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh
karena itu, Al Ghazali mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai
warna sendiri, tetapi mampu merefleksikan semua jenis warna.[9]
Merujuk
pada kreteria tersebut, dalam soal pendefinisian uang dia tidak hanya
menekankan pada aspek fungsi uang. Definisi yang demikian ini lebih sempurna
dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan kebanyakan ekonomi
konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas pada fungsi yang
melekat pada uang itu sendiri.
Oleh
karena uang hanya sekedar standar harga barang atau benda, maka uang tidak
memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu uang yang
ditunjukkan oleh real axistence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan Imam
Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait
dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba dan jual beli mata
uang.
Konsep
keuangan Imam Ghazali menunjukan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa
filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari
pandangan keuangannya adalah bahwa Imam Ghazali sama sekali tidak terjebak pada
dataran filosofis, melainkan menunjukan perpaduan yang serasi antara kondisi
riil yang terjadi di masyarakat dangan nilai-nilai filosofis tersebut, dan
disertai dengan argumentasi yang logis serta jernih. Oleh karena itu, agar
pandangan keuangan Imam Ghazali tertata rapi sehingga menjadi menjadi konsep
yang mapan. Tulisan singkat ini berusaha menggambarkan secara utuh seputar
pandangan keuangan Imam Ghazali untuk kemudian dikaji dalam prespektif sistem
ekonomi Islam, yang diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Larangan
menimbun Uang
Dalam konsep Islam, uang
adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian
masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang
fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktek menimbun uang dalam Islam
dilarang keras sebab akan berdampak pada instanbilitas perekonomian suatu
masyarakat.
Menurut teori ekonomi
bahwa jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai
hubungan yang sangat erat. Jika jumlah uang yang beredar melebihi jumlah barang
yang tersedia, akan terjadi inflasi.
Jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia maka akan
terjadi deflasi. Keduanya merupakan
penyakit ekonomi yang harus dihindari, sehingga di pasar harus selalu seimbang
antara jumlah uang yang beredar dangan barang yang tersedia.
2. Penghapusan
Riba
Menurut arti bahasa riba adalah ziyadah yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan, membengkak
dan bertambah. Akan tetapi tidak semua tambahan atau pertumbuhan dikatagorikan
sebagai riba. Menurut fiqh, riba diartikan
setiap tambahan dari harta pokok yang bukan merupakan konpensasi hasil
usaha ataupun hadiah. Adapun pengertian riba secara teknis adalah pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, baik dalam utang-piutang
atau jual beli. Batil yang dimaksud adalah perbuatan ketidakadilan (dzalim) atau diam menerima ketidakadilan.
Pengambilan tambahan secara batil akan menimbulkan kedzaliman diantara pelaku
ekonomi. Dengan demikian esensi pelarangan riba adalah penghapusan ketidak
adilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi.
Alasan mendasar Imam
Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan pada
motif dicetaknya uang itu sendiri, yaitu hanya sebagai alat tukar dan standar
nilai barang semata, bukan sebagai komuditas. Karena itu perbuatan riba dengan
cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tujuan
awal penciptaan uang dan dilarang oleh Agama.[10]
3. Jual
Beli Mata Uang
Salah satu hal yang
termasuk dalam kakagori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini, Imam
Ghazali melarang praktek yang demikian ini. Menurut Imam Ghazali, jika praktek
jual beli mata uang diperbolehkan, maka sama dengan membiarka orang melakukan
penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjual belikan, uang hanya akan
beredar pada kalangan tertentu yaitu orang-orang kaya. Demikian ini adalah
tergolong tindakan yang zalim.
Hal ini merupakan
pandangan keuangan Imam Ghazali yang sarat dengan semangat kemanusiaan
universal serta etika bisnis Islam. Meskipun demikian untuk menjadi konsep yang
mapan dan sempurna, pemikliran keuangan Imam Ghazali yang masih berserakan
tersebut memerlukan kerja keras dari para pewarisnya untuk kemudian
merekunstruksi ulang secara sistematis dan logis.
4. Evolusi
Pasar
Imam Ghazali menyuguhkan
pembahsan terperinci tentang peranan dan signifikasi aktivitas perdagangan yang
dilakukan dengan sukarela, serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran. untuk
menentukan harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Imam Ghazali tampaknya
membangnun dasar-dasar dari apa uang kemudian dikenal sebagai semangat
kapitalis.
Bagi Imam Ghazali pasar
merupakan bagian dari keteraturan alami secara
rinci dan juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Imam
Ghazali menyatakan :
Dapat saja petani hidup di mana
alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu
hidup di mana lahan pertanian tidak ada.
Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat
pula terjadi tukang kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkana
alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh
karena itu, secara alami orang akan
terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat
penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing sehingga terbentuklah
pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan
barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan
orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang
relatif murah untuk kemudian disimpan sebagi persediaan. Pedagang kemudian
menjual dengan ringkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang[11].
Menurut Imam Ghazali,
pasar berevolusi sebagai bagian dari hukum alam segala sesuatu yakni sebuah
ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan
kebutuhan ekonomi. Untuk memperjelas hal ini, Imam GhaZali juga menjelaskan
praktek-praktek ekonomi sebagai berikut :
a.
Praktek perdagangan
antar wilayah
Imam Ghazali juga menjelaskan praktek perdagangan antar wilayah
beserta dampak yang ditimbulkannya. Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di
berbagai kota dan negara, orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk
mendapatkan alat-alat makan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang
akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak seluruh makan dibutuhkan.
Keadaan inilah yang pada gilirannya kebutuhan terhadap alat transportasi.
Tercipta kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja meencari
keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain daan
mendapat keuntungan dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lainj juga.[12]
b.
Teori permintaaan dan
penawaran
Imam Ghazali juga memperkenalkan teori permintaan dan penawaran,
jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya dengan harga yang
lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar.
Imam Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasikan
permintaan produk makanan adalah inelastic, karena makanan adalah kebutuhan
pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang
tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari
perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan
pokok.[13]
5. Peranan Pemerintah Dalam mengontrol Pasar
Untuk lebih menjamin berjalannya mekanisme pasar
secara sempurna peranan pemerintah sangat penting. Rasulullah Saw sendiri telah menjalankan fungsi
sebagai market supervisor atau Al-Hisbah, yang kemudian banyak didajikan
acuan untuk peran negara terhadap pasar. Menurut Al-Mawardi, eksistensi dan
peranan al-Hisbah berangkat dari Firna Allah SWT :
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : “Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dn mencegah dari yang mugkar, merekalah
orang-orang yang beruntung.[14]
Sementara Ibnu Taimiyah
banyak mengungkap tentang peranan Al-Hisbah pada masa Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. Sering melakukan inspeksi ke pasar untuk mengecek harga dan
mekanisme pasar. Seringkali dalam inspeksinya beliau menemukan praktek bisnis
yang tidak jujur sehingga beliau menegurnya [15]
Rasulullah Saw. Juga
telah memberikan banyak pendapat, perintah maupun larangan demi sebuah pasar
yang islami. Semua ini mengidikasikan secara jelas bahwa Al-Hisbah telah ada
sejak masa Rasulullah Saw., meskipun nama Al-Hisbah barudatang di masa kemudian.[16]
Al-Mawardi mendefinisikan Al-Hisbah
sebagai lembaga yang berfungsi untuk memerintahkan kebaikan sehingga menjadi
kebiasaan dan melarang hal-hal yang buruk ketika hal tersebut menjadi kebiasaan
umum. Sementara tujuan dari Al-Hisbah menurut Ibnu Taimiyah adalah
untuk memerintah apa yang disebut sebagai kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah apa yang secara umum disebut sebagai
keburukan (al-mungkar) di dalam wilayah yang menjadi kewenangan
pemerintah untuk mengaturnya.
E. PENUTUP
Menurut
pandangan Imam Ghazali kegiatan ekonomi merupakan amal yang dianjurkan oleh
Islam. Kegiatan ekonomi harus ditujukan mencapai maslahah untuk memperkuat
sifat kebijaksanaan, kesederhanaan dan keteguhan hati manusia. Sedangkan dalam
hubungan dengan pasar Imam Ghazali berpendapat bahwa pasar merupakan bagian
dari “keteraturan alami”
Pandangan
Imam Ghazali tentang ekonomi secara garis besar dapat dikelompokan menjadi :
pertukaran dan evolusi pasar, produksi, barter dan barter uang, serat peranan
negara dan keuangan publik.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Ghazali, Ihya
‘Ulum al-Din, Bairut : Dar al-Nadwah, tt
Al-Khayyat, Abdul Aziz, Etika Bekerja Dalam Islam (terj), Jakarta : Gema Insani Press,tt
A.Karim, Adi Warman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004
-----------------------, Ekonomi Islam : suatu kajian Ekonomi Makro,
Jakarta : Karim Business Consulting, 2001.
------------------------,
Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta
: Gema Insani Press,2001
Jafril Khalil, Ph.D, Jihad Ekonomi Islam, Depok :
Gramata Publishing,2010.
Lukman Hakim, SE., M.Si., Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta : Penerbit Erlangga, 2012
Nur Chamid, Drs, MM, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2010
[1] Penulis adalah lulusan
Pascasarjana STAI Qomaruddin Gresik yang saat ini menjabat sebagai Ketua
Program Studi Ekonomi Syariah STAI Raden Qosim Lamongan.
[12] A.Karim, Adi Warman, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer,
(Jakarta : Gema Insani, 2001), 157
[15] Ibnu Taimiyah mengutip
dari laporan Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw memperdulikan jika harga
padi-padian murah dan memasukan tanganya ke barang dagangan itu basah atau
tidak. Berkaitan dengan ini Rasulullah bersabda : “Kenapa tak kau letakan padi-padian yang basah di atas, sehingga
orang-orang mudqah melihatnya ? seseorang yang menipu kami bukanlah umatku”.
[16] Sebenarnya Rasulullah
tidak mendirikan lembaga khusus ini atau juga tidak memberi nama Al-Hisbah, Akan tetapi Rasulullah
menjalankan fungsi-fungsi al-Hisbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari tunjukkan sikap akademis kita dengan sopan dalam berkomentar